Di kalangan profesional, pindah "ke lain hati" dengan dalih mencari tantangan baru adalah hal biasa. Perusahaan pun umumnya merelakan kepergian profesionalnya itu, karena memang tidak ada aturan yang mengharuskan profesional sampai pensiun berkarier di satu perusahaan. Namun celakanya, kerap terjadi profesional itu -- katakanlah, seorang account executive atau account manager -- membawa juga kabur sang klien.
Di mata Wisaksono Noeradi, Mitra Pengelola Sudarto & Noeradi, praktik membawa lari klien memang acap terjadi, misalnya, di dunia periklanan dan konsultan. Dalam pandangannya, account executive memboyong juga kliennya ke perusahaan baru tempat ia bekerja memang tidak ada larangannya. Hanya saja, perilaku itu sebagai tindakan yang tidak etis. Toh, ia melihat kepindahan klien sejatinya tak semata-mata karena dibawa lari pemasarnya. Boleh jadi, klien sudah kadung jatuh hati pada pemasar, sehingga ia bersedia mengikuti arah perjalanan si pemasar. Menurutnya, praktik semacam itu sebenarnya merugikan pihak klien. Pasalnya, segala ihwal yang menyangkut klien sejatinya digodok oleh tim. Pemahaman terhadap klien dipahami dan dikuasai seluruh tim. Jadi, tidak semata wewenang dan tangung jawab account executive yang bersangkutan. Kalau ia bersedia dibawa lari si account executive, akan sangat riskan. Sebab, keandalan tim di perusahaan baru, jelas belum ia ketahui. Lagi pula membahayakan, bila klien hanya semata mengandalkan account executive. Klien harus ingat, account-nya itu dipegang oleh perusahaan bukan individu.
Noeradi melihat, sejatinya klien tidak bisa begitu saja dibawa lari pemasarnya. Karena, hakikatnya sudah ada kontrak legal antara perusahaan dan klien. Kalau si pemasar membawa lari klien ketika masa kontrak dengan perusahaan memang sudah habis, ya tidak masalah. Kalau memutuskan kontrak sebelum masa berakhir, pastilah ada klausul-klausul hukumnya. Dan, klien bisa mengikuti si pemasar yang pindah ke perusahaan lain, katakanlah di biro iklan, harus melalui proses pitching. Ia menilai, klien tidak bisa dibawa lari begitu saja. Harus ada justifikasi yang profesional.
Untuk menghindari terjadinya praktik tersebut, menurut Wisaksono, tak ada jurus lain kecuali pihak perusahaan meningkatkan komunikasi dengan klien-kliennya. Artinya, perusahaan menjalin hubungan tidak sebatas pekerjaan, tetapi juga mengembangkan hubungan sosial sebatas koridor yang berlaku. Hubungan sosial ini harus terbina dari jajaran eksekutif puncak sampai level account executive.
Untuk menghindari praktik memboyong klien, perusahaan juga bisa menerapkan knowledge management. Dengan persaingan bisnis yang makin menajam, pengetahuan menjadi faktor penting dalam menciptakan keunggulan. Perusahaan harus memahami organisasi pembelajaran sebagai ajang keunggulan daya saing perusahaan. Dengan memobilisasi pekerja pengetahuan dan menumbuhkan lingkungan belajar, dapat mengakomodasi the new economic of information.
Knowledge management dapat pula meredam perilaku tidak etis karyawan, misalnya membawa lari klien perusahaan. Perilaku ini jelas berkaitan dengan disiplin atau kebiasaan. Manajemen pengetahuan bisa dimulai dari self management atau manajemen diri. Adapun konsep manajemen pengetahuan meliputi pengelolaan sumber daya manusia, dan teknologi informasi. Tujuannya, mencapai organisasi perusahaan yang semakin baik, sehingga mampu memenangkan persaingan bisnis. Terlebih, seperti yang diutarakan Von Krogh dalam bukunya Enabling Knowledge Creation: Fondasi utama membangun bisnis yang mampu bertahan di tengah persaingan adalah membangun budaya yang menghargai belajar.
Henni T. Soelaeman
Nara Sumber: www.swa.co.id
Komentar :
Posting Komentar