Peradilan (Al-Qadha) adalah merupakan suatulembaga yang telah dikenal sejak dari zaman purba sampai dengan masa sekarangini dan dia adalah merupakan sebuah kebutuhan yang tak dapat ditawar-tawarkeberadaannya sebab lembaga peradilan adalah merupakan salah satu prasyarattegaknya pemerintahan dalam rangka menyelesaikan sengketa yang terjadi diantara para warga negara. Peradilan dalam istilah modern dikenal dengan istilahYudikatif yang keberadaannya setara dengan eksekutif dan legislatif.
Peradilan adalah merupakan tugas suci yang diakuioleh seluruh bangsa, baik mereka yang tergolong bangsa-bangsa yang masihterbelakang maupun bangsa-bangsa yang tergolong sudah maju. Di dalam peradilanitu terkandung menyuruh perbuatan dan mencegah perbuatan munkar, menyampaikanhak kepada yang berhak menerimanya dan menghalangi orang yang zhalim daripadaberbuat aniaya, serta mewujudkan perbaikan umum. Dengan peradilanlah dilindungijiwa, harta dan kehormatan. Apabila sebuah bangsa atau negara tidak mempunyaiperadilan, maka bangsa atau negara itu termasuk dalam kategori bangsa yangkacau balau sebab hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya. Betapapun baiknyasebuah peraturan perundang-undangan pada sebuah negara, apabila lembagaperadilannya tidak ada, maka peraturan perundang-undangan yang sangat baik itutidak akan berarti apa-apa, sebab tidak ada yang menjalankan dan mengawasipelaksanaannya.
Oleh karena itulah maka sejarah peradaban duniayang pernah kita kenal, memperlihatkan kepada kita tentang peraturanperundang-undangan dan lembaga peradilannya seperti undang-undanga Hammurabidari Timur, Pemerintahan Assiria yang datang sesudahnya, Pemerintahan Israildan Pemerintahan Arab sebelum datangnya Islam, Pemerintahan Islam sendiri danPemerintahan modern sekarang ini. Kesemua pemerintahan itu mempunyai lembagaperadilan masing-masing sesuai dengan tingkatan pemikiran dan dinamika ummatmanusia pada masa itu.
Dalam makalah ini penulis akan memfokuskanperhatian pada lembaga peradilan pada masa Dinasti Bani Abbasiyah yangberlangsung dari tahun 132 H yang ditandai dengan pelantikan Khalifah PertamaAs-Saffah dengan sebutan Abul Abbas, Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abdullahbin Abbas bin Abndul Mutholib bin Hasyim yang dibaiat pada tanggal 3 RabiulAwwal 132 H di Kufah.
SejarahSingkat Bani Abbas
Setelah berakhirnya kekuasaan Dinasti BaniUmayyah maka beralihlah Khilafah Islamiyah kepada keluarga Muhammad SAW yaitu Bani Abbas bin Abdul Mutholib yang ditandai denganpelantikan Khalifah Pertama Abul Abbas As-Saffah, yang dibaiat pada tanggal 3Rabiul Awwal 132 H di Kufah dan menjadikan pusat pemerintahannya di Kufah.Dinasti Abbasiyah ini terbagi kepada tiga priode besar sebagai berikut :
1. Priode pertama adalah priode kekuatan (kejayaan)kerajaan yang ditandai dengan kehebatannya dalam bidang pengembangan ilmupengetahuan dan pengembangan peradaban Islam. Priode ini berlangsung dari tahun132 H sampai dengan 247 H. Ibukota kerajaan dipindahkan dari Damaskus (padaDinasti Bani Umayyah) ke Anbar di Irak pada masa As-Saffah dan dipindahkan lagike Bagdad pada masa Abu al-Mansur tahun 147 H dan kemudian pindah lagi keSamura (Surra man artinya yang melihat akan senang) pada masa Al-Muâtashim binHarun al-Rasyid pada tahun 221 H.
2. Priode kedua adalah ditandai dengan kuatnyapengaruh orang-orang Turki pada Khalifah yang dimulai dengan terbunuhnyaAl-Mutawakkil Sang Khalifah dan diganti oleh anaknya Al-Muâtashim pada tahun247 H dan tetaplah Sammura sebagai ibukota kerajaan hingga dipindahkannyaibukota kerajaan ke Bagdad untuk kedua kalinya oleh Al-Muâtadid Billah padatahun 279 H. Satu hal yang perlu dicatat bahwa pada masa ini posisi golonganArab sangat lemah sebab keturunan Persia telah masuk pada kerajaan pada masaAl-Maâmun kemudian keturunan Turki pada masa Al-Muâtashim, kemudian berlangsungpada masa Al-Buwaihi dan Saljuk hingga wafatnya Sultan Masâud Al-Saljuki padatahun 590 H. Dan setelah itu terbebaslah kerajaan Abbasiyah dari pengaruh Turkidan Persia hingga datangnya Hulagu Raja tartar ke Bagdad dan membunuhAl-Muâtashim Billah Khalifah terakhir Bani Abbasiyah di Irak pada tahun 656 H.
3. Priode ketiga ditandai dengan berpindahnyaKhalifah ke Mesir pada tahun 659 H yang ditandai dengan pengangkatanAl-Mustaushin dan orang-orang sesudahnya. Khalifah ini bertahan hingga wafatnyaAl-Mutawakkil Ali bin Al-Mustamsik pada tahun 995 H. Priode ini posisi khalifahsangat lemah sebab khalifah hanyalah sekedar simbol, sementara kekuatan adapada kerajaan-kerajaan kecil. Kondisi ini semacam negara federal di zamanmodern.
MuculnyaMazhab-Mazhab
Setelah Kota Bagdad dijadikan sebagai ibukotakerajaan Abbasiyah maka berkembanglah tradisi keilmuan Islam yang sangat pesatdan para ulama berkumpul di kota ini dari segalapenjuru untuk mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan, sehingga jadilah kota Bagdad sebagai pusatpengembangan ilmu pengetahuan sampai Bani Abbasiyah mengalami kemunduran.
Setelah dilakukan pengumpulan Hadis Nabi MuhammadSAW pada masa Umar bin Abdul Aziz dari Khalifah Bani Umayyah,maka pada masa Al-Manshur dari Khalifah Bani Abbasiyah merintahkan para ulamauntuk menyusun kitab tafsir dan hadis. Kemudian lahirlah mazhab-mazhab dalambidang fiqh pada pertengahan abad kedua hijriyah yaitu Abu Hanifah (w. 150 H)yang dikenal dengan tokoh Ahlul Raâyi di Iraq. Kemudian Imam Malik bin Anas(w.179 H) di Hijaz sebagai ulama Madinah dari kalangan muhadditsin dan fuqohaâ.Kemudian Imam Muhammad bin Idris Al-Syafiâi (w.204 H) dari Makkah dan Madinahhingga markaz keilmuan di Bagdad Iraq kemudian ke Masjid Jamiâ Amru bin Ash diMesir untuk meletakkan dasar-dasar Ushul Fiqh Islam dan Qaâidah-QaâidahIjtihad. Kemudian dari Madrasah Ahlul Muhadditsin dan halaqah Al-Syafiâi lahirpula Ahmad bin Hanbal (w.241 H) yang ahli dalam bidang fiqh dan hadis.
Para ulama-ulamatersebut di atas juga memberikan perhatian yang sangat besar dalam soalperadilan dan permasalahan-permasalahannya dengan penjelasan yang lengkap dannyata. Para ulama itu merumuskanmacam-macamnya, pembahagiannya, rukun-rukunnya, dan syarat-syaratnya.Syarat-syarat tersebut mencakup syarat-syarat menjadi Qadhi, adab-adabnya,hubungan Qadhi dengan pihak-pihak yang berperkara dan lain sebagainya.
Mengingat bahwa mazhab-mazhab sudah berkembangsangat pesat, kemudian para hakim tidak lagi memiliki ruh ijtihad sementaratelah berkembang mazhab Hanafi, Maliki, Syafiâi dan Hanbali, maka para hakimdiperintahkan memutuskan perkara sesuai dengan mazhab-mazhab yang dianut parapenguasa, atau oleh masyarakat setempat. Di Iraq umpanya para hakim memutuskanperkara dengan mazhab Abu Hanifah, di Syam dan Magribi para hakim memutusperkara dengan mazhab Maliki, dan di Mesir para hakim memutus perkara denganMazhab Syafiâi. Dan apabila yang berperkara tidak menganut mazhab sesuai denganmazhab hakim, maka hakim menyerahkan putusan atau pemeriksaan perkara kepadahakim yang semazhab dengan yang berperkara itu.
Dan terkadang pada daerah-daerah yang luas danpenduduknya heterogen dari segi aliran-aliran mazhab, maka hakim yangdiangkatpun ada yang berasal dari mazhab Hanafi, ada yang berasal dari mazhabSyafiâi, ada yang berasal dari mazhab Maliki, dan ada yang berasal dari mazhabHanbali dan bahkan ada yang berasal dari mazhab Ismaili. Dan bahkan lebihdaripada itu seperti mazhab Syiâah, Auzaâi, Daud az-Zhahiri, Ath-Thobari, danlain sebagainya.
Secara umum mazhab yang empatlah yang menjadisumber putusan hakim dari mulai Dinasti Abbasiyah sampai dengan sekarang ini.Dan oleh karena itu pulalah maka masa Abbasiyah ini dikenal dalam sejarahsebagai masa Imam-Imam Mazhab dan pada masa ini pulalah disusun ilmu Ushul Fiqhuntuk menjadi pedoman bagi hakim dalam menggali hukum dari al-Qurâan danal-Sunnah. Perlu menjadi catatan bahwa para hakim pada masa ini dalammemutuskan perkara berdasarkan atas mazhab-mazhab yang dianut oleh hakim danmasyarakat, dan apabila ada masyarakat yang berperkara tidak sesuai denganmazhab hakim, maka hakim tersebut menyerahkannya kepada hakim yang lain yangsemazhab dengan yang berperkara.
PenolakanMenjadi Hakim
Adasatu keinginan baik dari pemerintah Bani Abbasiyah yaitu parakhalifah-khalifahnya bermaksud supaya semua perbuatan mereka dicelup dengancelupan agama. Lantaran itu mereka membimbing hakim supaya berjalan sesuaidengan keinginan mereka, dampak negatifnya adalah para hakim memutuskan perkaradibawah kekuasaan pengaruh pemerintah atau dalam kata lain putusan hakim harussesuai dengan keinginan pemerintah. Putusan yang sesungguhnya ada padapemerintah, sedangkan hakim hanya melegitimasi saja dengan mengetok palu sidang.
Atas dasar itulah maka para ulama banyak yangmenolak menjadi hakim sebagai contoh adalah Imam Abu Hanifah menolak jabatanhakim tersebut pada masa Abu Jaâfar al-Manshur. Abu Hanifah tidak menyukaikhalifah-khalifah Bani Abbasiyah, karena khalifah-khalifah itu sering benarmerusakkan perjanjian dan sering membunuh orang-orang yang telah dilindungi.Dan itu mereka lakukan melalui fatwa hakim, seperti yang telah dikeluarkan olehAbul Abbas terhadap Ibnu Hubairah, dan seperti tindakan Al-Manshur terhadap Muhammadbin Abdullah yang terkenal dengan julukan An-Nafsuz Zakiah, dan tindakan HarunAl-Rasyid terhadap Yahya bin Abdullah. Seringkali khalifah Abbasiyah mencampuriputusan hakim.
Banyaknya mazhab-mazhab dalam bidang hukum danadanya penolakan menjadi hakim oleh para ulama yang berkompeten akibatbanyaknya campur tangan khalifah terhadap putusan hakim, menyebabkan terjadinyakekacauan-kekacauan dalalam bidang hukum sebab tidak ada satu pedoman khususyang dapat dipedomani dalam memutuskan sebuah perkara. Hal ini mendorongAbdullah bin Muqaffa menulis risalah yang disampaikan kepada Abu JaâfarAl-Manshur, agar beliau menyusun satu peraturan umum yang berlaku untuk seluruhdaerah negerinya. Khalifah memenuhi permintaan ini dan memerintahkan Imam Malikbin Anas untuk menyusun satu kitab pedoman dalam penetapan hukum bagi ummatIslam. Imam Malikpun menyanggupinya dan mengarang buku yang diberi judulAl-Muwaththoâ. Khalifah meminta agar kitab Al-Muwaththoâ ini dijadikan pedomandalam menetapkan perkara, namun justru Imam Malik yang merasa keberatan dantidak membolehkan kitabnya itu dijadiklan pedoman dengan alasan tidak merasaenak hati apabila pendapatnya itu menghapus pendapat-pendapat ulama lainnyaseperti pendapat Asy-Syafiâi dan Abu Hanifah.
PembentukanQadhil Qudhah / Qadhil Jamaâah
Istilah Qadhil Qudhah dan Qadhil Jamaâah adalahdua istilah yang sama dan dipakai pada negeri yang berbeda. Di PemerintahanBani Abbasiyah dikenal dengan istilah Qadhil Qudhah, sedangkan di pemerintahanBani Umayyah di Andalusia (masa keduanya bersamaan) dikenal dengan istilahQadhil Jamaâah. Qadhil Qudhah ataupun Qadhil Jamaâah pada masa sekarang inisemacam Ketua Mahkamah Agung (penulis) atau menurut Hasbi Ash-Shiddiqie sebagaiMenteri Kehakiman.
Qadhil Qudhah ataupun Qadhil Jamaâah iniberkedudukan di ibukota negara dan dialah yang mengangkat hakim-hakim daerah.Qadhil Qudhah yang pertama adalah Al-Qadhi Abu Yusuf Yaâqub bin IbrahimAl-Anshari, Sahabat dekat dan pelanjut mazhab Imam Abu Hanifah dan pengarangkitab Al-Kharaj. Hal ini terjadi pada masa pemerintahan Harun Al-Rasyid yangmemang sangat memuliakan Abu Yusuf dan sangat memperhatikan hakim-hakim sertagerak-gerik mereka.
Di masa Abbasiyah inilah peradilan dibentukmerupakan instansi tersendiri. Dengan tindakan ini maka hakim-hakim itumempunyai daerah-daerah tertentu dibawah pengawasan Qadhil Qudhah yang mengaturlembaga peradilan ini. Kemudian di waktu daerah-daerah Islam satu demi satumelepaskan diri dari pemerintahan Bagdad, makatiap-tiap daerah itu diangkat pula Qadhil Qudhah seperti di Damaskus, di Mesir,di Bagdad, di Madinah dan sebagainya, masing-masing ada Qadhil Qudhah.
Istilah Qadhil Qudhah di Andalusia dariPemerintahan Bani Umayyah adalah memakai istilah Qadhil Jamaâah. Qadhil Jamaâahini adalah Qadhi yang berwenang mengangkat hakim-hakim daerah. Kepada parahakim-hakim di masa ini diberikan fasilitas-fasilitas yang meninggikankepribadian meraka dan menghalangi mereka bercampur baur dengan manusia ramaipada bukan waktu-waktu yang telah ditentukan (waktu-waktu sidang - penulis) dankepadanya diberikan beberapa orang pegawai. Qadhil Jamâah pertama di Andalusia adalah Yahya bin Yazid At-Tajibi. IstilahQadhil Jamaâah ini adalah istilah baru yang tidak terdapat istilah yang samasebelumnya.
TempatPersidangan
Tempat persidangan pengadilan pada masa BaniAbbasiyah diadakan di suatu majelis yang luas, yang memenuhi syarat kesehatandan dibangun di tengah-tengah kota,dengan menentukan pula hari-hari yang dipergunakan untuk persidangan memeriksaperkara. Para hakim tidak dibenarkanmemutuskan perkara di tempat-tempat yang lain. Dan dalam waktu ini puladiadakan beberapa perbaikan seperti menghimpun putusan-putusan secara telitidan sempurna, serta mendaftarkan pula wasiat-wasiat dan hutang piutang.
BidangWewenang Hakim
Adapun bidang-bidang yang menjadi wewenang hakimpada masa ini bertambah luas, bukan hanya masalah-masalah yang berkaitan dengankeperdataan, akan tetapi juga menyelesaikan masalah-masalah waqaf dan menunjukpengampu (kurator) untuk anak-anak di bawah umur. Bahkan kadang-kadanghakim-hakim ini diserahkan juga urusan-urusan kepolisian, penganiayaan(mazhalim) yang dilakukan oleh penguasa, qishash, hisbah, pemalsuan mata uangdan Baitul Maal. Dan bahkan kepada Yahya bin Aktsam, seorang hakim di Mesir dimasa Al-Makmun dan juga Munzir bin Saâid Al-Buluthi Qadhi Abdurrahman An-Nashirdari Bani Umayyah di Andalusia diserahkan urusan angkatan bersenjata.
Dalam hal ini Ibnu Khaldun dalam kitabnyaMuqaddimah menyatakan bahwa, Kedudukan peradilan selain dari menyelesaikanperkara-perkara sengketa, bertugas juga memelihara hak-hak umum, memperhatikankeadaan anak-anak yang dibawah umur, orang yang tak cakap bertindak secarahukum seperti anak yatim, orang gila, orang pailit dan sebagainya dan mengurusjuga harta-harta wasiat, wakaf, menjadi wali bagi wanita yang tidak berwali danmemperhatikan kemaslahatan-kemaslahatan lalu lintas, pembangunan-pembangunandan memeriksa keadaan-keadaan saksi, agar dapat diketahui mana saksi yang adildan mana saksi yang tidak adil.
BeberapaOrang Hakim di Satu Wilayah
Pada mula-mulanya di setiap daerah diangkatseorang hakim sesuai dengan mazhab yang paling dominan di daerah itu. Makasetelah pemerintahan Abbasiyah bertambah luas maka diangkatlah beberapa oranghakim pada satu wilayah yang terdiri dari berbagai mazhab yang berkembang didaerah itu. Maka di tiap-tiap daerah diangkatlah hakim-hakim dari mazhab Jumhuryaitu hakim mazhab Syafiâi, Hanafi, Maliki dan Hanbali.
Pada masa ini, di samping adanya lembagaperadilan, dibenarkan pula adanya hakam-hakam (Badan Arbitrase Lembaga Tahkim)yang memutuskan perkara antara orang-orang yang mau menyerahkan perkara-perkarakepadanya atas dasar kerelaan kedua belah pihak. Lembaga Tahkim ini dibenarkandalam Islam. Dan Undang-Undang modernpun ternyata telah banyak mencontoh danmembentuk lembaga tahikm ini. Selain itu ada lagi apa yang disebut denganWilayatul Hisbah dan Wilayatul Mazhalim yang dipisahkan dari wilayah peradilan.
WilayahMazhalim
Wilayah mazhalim adalah suatu kekuasaan dalambidang pengadilan, yang lebih tinggi daripada kekuasaan hakim dan kekuasaanmuhtasib. Lembaga ini memeriksa perkara-perkara yang tidak masuk ke dalamwewenang hakim biasa. Lembaga ini memeriksa perkara-perkara penganiayaan yangdilakukan oleh penguasa-penguasa dan hakim-hakim ataupun anak-anak dari orangyang berkuasa. Sebahagian dari perkara-perkara yang diperiksa dalam lembaga iniadalah perkara-perkara yang diajukan oleh seseorang yang teraniaya dansebagiannya pula tidak memerlukan pengaduan dari yang bersangkutan, tetapimemang jadi wewenang lembaga ini untuk memeriksanya.
Lembaga mazhalim ini telah terkenal sejak zamandahulu. Kekuasaan ini terkenal dalam kalangan bangsa Persia dan dalam kalangan bangsaArab di zaman Jahiliyah. Di masa Rasulullah SAW masihhidup, maka Rasul sendiri yang menyelesaikan segala rupa pengaduan terhadapkezaliman para pejabat. Para Khulafaurrasyidin tidak mengadakan lembaga ini,karena anggota-anggota masyarakat pada masa itu masih dapat dipengaruhi olehajaran-ajaran agama. Pertengkaran-pertengkaran yang terjadi di antara merekadapat diselesaikan oleh pengadilan biasa. Akan tetapi di akhir zamanpemerintahan Ali bin Abi Thalib beliau merasa perlu mempergunakantindakan-tindakan yang keras dan menyelidiki pengaduan-pengaduan terhadappenguasa-penguasa yang berbuat zalim. Tetapi Ali belum lagi menentukanhari-hari yang tertentu untuk meneliti perkara-perkara ini. Permulaan khalifahyang sengaja mengadakan waktu-waktu tertentu untuk memperhatikanpengaduan-pengaduan rakyat kepada para pejabat ialah Abdul Malik bin Marwan. Didalam memutuskan perkara, Abdul Malik bin Marwan berpegang pada pendapat parahakimnya dan ahli-ahli fiqihnya. Umar bin Abdul Aziz adalah seorang khalifahyang mempertahankan kebenaran dan membela rakyat dari kezaliman. Oleh karenanyabeliau mengembalikan harta-harta rakyat yang diambil oleh Bani Umayyah secarazalim. Pada pemerintahan Bani Abbasiyah yang pertama sekali mempelopori danmelaksanakan Wilayatul Mazhalim ini adalah Al-Mahdi.
Prof. Dr. Tengku Hasbi Ash-Shiddiqe menyatakanbahwa di dalam risalah Al-Kharaj, Abu Yusuf menganjurkan kepada Khalifah HarunAl-Rasyid supaya mengadakn sidang-sidang untuk memeriksa pengaduan-pengaduanrakyat terhadap para pejabat, sebab kerapkali para khalifah dahulu menyerahkantugas ini kepada wazir-wazir dan kepala daerah atau hakim-hakim. Merekamenentukan hari-hari tertentu untuk menerima pengaduan rakyat terhadap parapejabat negara. Pengadilan untuk memutuskan perkara-perkara kezaliman, padamasa itu dilakukan di masjid-masjid. Akan tetapi penguasa yang mengetahuisidang mazhalim ini dilengkapi dengan bermacam-macam aparat agar pengadilannyamempunyai kewibawaan yang penuh dan dapat melaksanakan putusan-putusannya.
Al-Mawardy di dalam Al-Ahkamus Sulthaniyah menerangkanbahwa perkara-perkara yang diperiksa oleh lembaga ini ada 10 macam, yaitu :
1. Penganiayaan para penguasa, baik terhadap perorangan maupun terhadapgolongan.2. Kecurangan pegawai-pegawai yang ditugaskan untuk mengumpulkan zakat danharta-harta kekayaan negara yang lain.
3. Mengontrol/mengawasi keadaan para pejabat.
4. Pengaduan yang diajukan oleh tentara yang digaji lantaran gaji merekadikurangi ataupun dilambatkan pembayarannya.
5. Mengembalikan kepada rakyat harta-harta mereka yang dirampas oleh penguasa-penguasayang zhalim.
6. Memperhatikan harta-harta wakaf.
7. Melaksanakan putusan-putusan hakim yang tidak dapat dilaksanakan olehhakim-hakim sendiri, lantaran orang yang dijatuhkan hukuman atasnya adalahorang-orang yang tinggi derajatnya.
8. Meneliti dan memeriksa perkara-perkara yang mengenai maslahat umum yang takdapat dilaksanakan oleh petugas-petugas hisbah.
9. Memelihara hak-hak Allah, yaitu ibadat-ibadat yang nyata sepertu Jumat, HariRaya, Haji dan Jihad.
10. Menyelesaikan perkara-perkara yang telah menjadi sengketa di antarapihak-pihak yang bersangkutan.
Lembaga Mazhalim sebagaimana tersebut di atas dilengkapi dengankelengkapan-kelengkapan sebagai berikut :
1. Pegawa-pegawai yang merupakan pegawai dan penjaga yang akan bertindakterhadap seseorang yang membangkang di dalam masa pemeriksaan.
2. Hakim-hakim yang pandai untuk ditanya pendapatnya tentang jalannyapemeriksaan (Saksi Ahli Penulis).
3. Ahli-ahli fiqh untuk ditanyakan pendapatnya di dalam masalah itu (Saksi AhliPenulis).
4. Panitera untuk mencatat segala keterangan yang diberikan oleh masing-masingpihak.
5. Saksi untuk dipergunakan di masa-masa persidangan, sebagai orang yangdiminta persaksiannya untuk menyaksikan putusan-putusan yang diberikan olehketua pengadilan mazhalim.
Penutup
Demikianlah makalah ini saya sampaikan sebagaibahan bagi kita dalam berdiskusi dalam rangka meningkatkan pemahaman kitaterhadap sistem peradilan yang dilaksanakan pada masa Pemerintahan BaniAbbasiyah. Semoga ini dapat kita jadikan pelajaran untuk selanjutnya dapatditerapkan pada masa kekinian dan kedisinian kita.
Komentar :
Posting Komentar