Gambaran umum
Perlindungan dan dukungan tehadap saksi dan korban yang sering disingkatdengan PDSK dikembangkan untuk mengupayakan pemecahan hambatan-hambatan yangditemui para saksi dan korban dan memiliki peran penting dalam upayamengungkapkan kebenaran. Adanya perlakuan khusus tersebut akan membukakesempatan terpenuhnya hak saksi dan korban, hak tertuduh, dan hak rakyat Indonesia.
Difinisi Perlindungan Dan Dukungan Terhadap Saksi Dan Korban (PDSK)
Kerapnya penggunaan kekerasanfisik maupun psikologis dalam bentuk terror, kekerasan fisik, Intimidasi, danstigmatisasi yang ditujukan kepada para saksi dan korban dengan tujuan agarmereka tidak memberikan kesaksian yang memberarkan para pelaku kejahatanmemunculkan suatu kebutuhan baru akan perlindungan terhadap saksi maupunkorban. Karena tanpa perlindungan yang memadai bagi para saksi dan korban,sangat sulit diharapkan mereka akan bersedia memberikan kesaksiannya, apalagidalam kasus-kasus kejahatan terhadap kemanusiaan dimana para pelaku biasanyaadalah orang-orang atau kelompok yang berkuasa atau memiliki kekuasaan. Sehinggapada akhirnya hal ini memberikan peluang terciptanya impunitas/kekebalan hokum yangselama ini dinikmati oleh para pelaku kejahatan kemanusiaan.
Oleh karena itu, untuk membuatpara pelaku bertanggung jawab atas kejahatan yang mereka lakukan, dibutuhkankerjasama dari para saksi dan korban. Tetapi para saksi dan korban hanya akanmengungkapkan kejadian yang mereka alami jika mereka merasa terlindungi daribahaya serangan balasan, kekerasan fisik, intimidasi, stigmatisasi, dan jika merekapercaya bahwa system peradilan akan berjalan secara efektif. Namun, tak adasuatu langkah tunggal yang dapat serta merta menghasilkan suatu system yangmampu menghormati dan melindungi saksi dan korban serta yang mampu menuntutpara pelaku kejahatan kemanusiaan untuk mempertanggungjawabkan tindakan yangtelah mereka lakukan.
Berdasarkan beberapa pengalamandari Negara lain dan mengacu pada aturan tribunal internasiona, ada tiga modelperlakuan terhadap saksi dan korban yang perlu difasilitasi secara serentakterkait dalam pengembangan suatu system yang memiliki peran penting dalam upayamengungkapkan kebenaran, yakni perlindungan terhadap saksi dan korban, sertaperubahan system peradilan itu sendiri.
Proses Penyusunan System Perlindungan Terhadap Saksi Dan Korban
Sebelum Undang-undang Nomor 13Tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan korban disahkan pada bulan juli 2006,pengaturan tentang perlindungan terhadap saksi dan korban terpisah-pisah sesuaidengan masalahnya masing-masing atau tidak terkodifikasi. Sementara kitabundang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang juga mengatur tentang saksiternyata tidak cukup memberikan perlindungan jika dibandingkan denganperlindungan terhadap hak-hak tersangka ataupun terdakwa. KUHAP lebih melihatsaksi sekedar sebagai bagian dari alat bukti dan kurang mengatur saksi sebagaipihak yang perlu dilindungi dan terutama pemulihan akan hak-haknya.
Kurang memadainya instrument yuridistentang perlindungan saksi dan korban serta rekomendasi ketetapan MPR NomorVIII Tahun 2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan Korupsi,Kolusi, dan Nepotisme yang antara lain mengamanatkan agar membentukundang-undang beserta peraturan pelaksanaannya terkait dengan perlindungansaksi. Ketetapan ini disambut oleh Badan Legislasi DPR RI dengan mengajukan RUUPerlindungan Saksi dan Korban (RUU PSK) pada tanggal 27 Juni 2002 danditandatangani oleh 40 anggota DPR dari berbagai fraksi sebagai RUU usulinisiatif DPR.
Namun, sejak penandatanganan RUUtersebut hingga tahun 2005, RUU PSK tidak juga dibahas di DPR RI, substansi RUUdimaksud juga perlu untuk disikapi/dikritisi dan direvisi. Menyilapi haltersebut, beberapa lembanga swadaya masyarakat maupun akademisi tidak tinggaldiam, mereka membuat berbagai kegiatan dan forum-forum diskusi tentangperlindungan saksi dan korban. Beberapa organisasi non pemerintah bahkanmenggabungkan diri dalam koalisi ini bertujuan untuk lebih menguatkan jaringanadvokasi terhadap beberapa kasus yang menyangkut saksi dan/atau korban.
Dalam upaya mendukung penyusunanundang-undang tentang perlindungan saksi dann korban, sedikitnya terdapat 4(empat) Rancangan Undang-undang tentang Perlindungan Saksi dan korban dalamkurun waktu tahun 2000 hingga 2004. Pada tahun 2000 telah disusun dan diusulkanoleh IndonesiaCorruption Watch (ICW), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia(YLBHI), dan Sentra HAM universitas Indonesia, kemudian Pemerintah dan DPR-RImasing-masing menyusun RUU pada tahun 2002 dan koalisi LSM untuk PerlindunganSaksi per 10 September 2004.
Selain upaya menyusun draftrancangan undang-undang, berbagai kajian dan diskusi dilakukan untuk membangungpemahaman bersama dan konsep Perlindungan Saksi dan korban yang paling baikguna diterapkan di Indonesia. Diantaranya kegiatan lokarya nasional yangdiselenggarakan oleh Komnas Perempuan untuk menyusun draf rancanganundang-undang (RUU) perlingungan Saksi dan korban yang diselnggarakan padatanggal 26-28 Mei 2000. Lokakarya ini melibatkan labih dari 40 peserta dariberbagai organisasi masyarakat dan lembaga-lembaga pemerintah yang terlibatdalam penanganan saksi maupun korban.
Lokakarya nasional ini merupakantindak lanjut dari tiga lokakarya daerah yang dilakukan di Aceh, Timika, danBiak. Hasil lokakarya nasional ini kemudian disosialisasikan kepada public yanglebih luas lewat dialog public yang berlangsung satu hari dan dihadiri olehlebih dari 200 orang dari berbagai kalangan masyarakat. Dari lokakarya ini puladihasilkan sebuah tim perumus yang bertanggung jawab mendokumentasikan danmensosialisasikan hasil dari proses pembelajaran bersama untuk membentuk suatukerangka system perlindungan dan dukungan terhadap saksi dam korban yangefektif dan konprehensif. Selain mengadakan lokakarya, KOMNAS Perempuan bersamadengan Anggota Koalisi Perlindungan Saksi mengadakan rangkaian focus group discussion (FGD), audiensi,sosialisasi, dan kampanye yang tidak hanya melibatkan instansi pemerintah danpenegak hukum terkait, tetapi juga masyarakat dari berbagai kalangan.
Sebagai acuan penyusunanpemberian perlindungan dan dukungan terhadap saksi dan korban, digunakan duasumber utama yang berlaku di dunia internasional : (1). PengadilanInternasional Ad-hoc untuk mengadili para pelaku kejahatan perang di Yugoslaviadan Rwanda; dan (2), Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) yang berwenang mengadili kasus-kasuspembasmian etnis (genosida), kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan terhadapkemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan Agresi. Untuk lembaga-lembagaperadilan internasional ini telah dibuatkan suatu system perlindungan terhadapsaksi dan korban yang relevan dengan peradilan serupa di tingkat nasional dandapat dijadikan standar internasional yang baku.
Dalam proses pengembangannya,digunakan juga pula berbagai perjanjian internasional seperti Statuta Roma danKonfrensi Maastricht 1992. Alternative lain yang dapat digunakan adalahpengalaman dari berbagai Negara yang sudah memiliki perlakuan khusus terhadap saksi dan korban seperti Standarts Specialized Victims Assistance andcounseling program di kanada dan komisi kebenaran dan rekonsiliasi AfrikaSelatan
Komentar :
Posting Komentar