(Dosen dan Kandidat Doktor UIN Jakarta)
Seringkali kita mendengar perkataan orang-orang tua kita saat melihat kupu-kupu yang masuk ke rumah, bahwa akan ada tamu yang datang. Atau ketika melihat burung gagak yang terbang berputar-putar di atas daerah tertentu, bahwa saat itu terdapat atau akan terjadi orang meninggal dunia di daerah tersebut.
Sebagian orang menganggap hal ini sebagai mitos, bahkan tak jarang yang menganggapnya tahyul (khurafat) yang mesti dijauhi karena bisa menyesatkan. Namun, semestinya tidak perlu terburu-buru untuk memberikan kesimpulan seperti itu pada riwayat-riwayat tersebut. Karena, sangat mungkin hal itu merupakan bagian dari tanda-tanda alam yang diberikan Allah SWT kepada umat manusia.
Sains membuktikan bahwa hewan memiliki keunikan tertentu yang tak dimiliki manusia. Sebagai contoh Kelelawar, yang mampu memancarkan gelombang ultrasonik dari mulutnya, yang bisa memantul balik bila mengenai benda di depannya dan dapat ditangkap kembali oleh telinganya, sehingga dia dapat terbang cepat dan aman di gelap gulita malam. Demikian pula Gurita, yang mampu berkamuflase dengan mengubah bentuk dan warna tubuhnya sesuai dengan bentuk dan warna lingkungan di sekitarnya.
Bahkan hewan juga memiliki insting (kepekaan) yang melebihi manusia. Sebagai contoh Laba-laba, yang memiliki kemampuan merasakan dan menentukan arah getaran yang sangat lembut pada jaring-jaringnya. Elang, dengan ketajaman matanya yang mampu menangkap gerakan ikan dalam air dari ketinggian di udara sembari terbang. Bahkan pernah diberitakan tentang kemampuan Anjing dalam melakukan deteksi dini terhadap gejala penyakit kanker seseorang, dengan hanya mengendus urine orang tersebut.
Tak hanya itu, keandalan insting hewan ini bahkan terbukti pula pada musibah tsunami yang telah memporak-porandakan Aceh dan Sumut. Seorang pakar margasatwa Sri Lanka, H.D. Ratnayake, meyakini hal ini setelah mengetahui bahwa tidak ditemukan bangkai hewan liar pasca tsunami gigantik di Samudera Hindia tersebut. Padahal dalam bencana ini, puluhan ribu orang tewas di sekitar pesisir pantai Laut India. Ia mengatakan bahwa hewan-hewan memiliki indera keenam dan bisa mendeteksi keberadaan gempa yang disusul gelombang tsunami, sehingga mereka berhasil menyelamatkan diri hanya beberapa saat sebelum terjadinya bencana.
Sebagaimana yang juga diberitakan, Taman Nasional Binatang Liar Yala adalah cagar satwa liar terbesar di Sri Lanka, di mana di dalamnya terdapat gajah, rusa, srigala, buaya, dan binatang-binatang lainnya. Ketika tsunami terjadi, air laut naik dan menggenangi tanah di darat hingga sejauh 3,5 kilometer serta menghancurkan bangunan-bangunan di taman. Banyak wisatawan dan pegawai taman yang tewas ditelan gelombang. Namun, di luar dugaan, berbagai jenis binatang liar di taman itu dapat lolos dari bencana tersebut.
Pakar hewan lainnya, Clive Walker, yang telah menulis beberapa buku tentang kehidupan satwa liar di Afrika, juga memercayai adanya indera keenam atau insting tajam pada hewan. Ia berkata, �Satwa liar tampaknya bisa mengetahui fenomena yang akan terjadi, terutama burung-burung. Banyak laporan yang menyatakan bahwa burung-burung berhasil mendeteksi bencana alam yang akan terjadi.�
Demikian pula dengan pengurus Cagar Harimau Liar di Pulau Sumatera, Debby Melt, yang berpendapat bahwa hewan liar sangat peka terhadap bencana alam. Indera dengar binatang sangat peka. Mereka sangat mungkin lebih dulu merasakan akan terjadinya tsunami. Selain itu, getaran yang ditimbulkan oleh tsunami dapat mengakibatkan perubahan tekanan udara, sedangkan perubahan tekanan udara bisa memberikan peringatan dini, dan mengingatkan binatang untuk pindah ke tempat yang aman.
Ada kisah menarik lainnya, di mana kehebatan insting hewan telah mampu menyelamatkan ribuan nyawa. Pulau Makiyan adalah pulau kecil di Maluku Utara yang terkenal sebagai penghasil cengkeh, pala, dan kenari. Kesuburan pulau ini dikarenakan tanahnya yang berasal dari letusan gunung berapi. Gunung Kiebesi meletus dahsyat pada tahun 1760, yang menelan korban jiwa sekitar 2000 orang. Gunung ini kemudian meletus kembali pada tahun 1988, namun anehnya tanpa menelan korban jiwa. Padahal letusan tersebut telah melenyapkan puluhan desa serta ratusan hektar kebun cengkeh, pala, dan sebagainya. Ternyata, hal ini dikarenakan penduduk pulau tersebut telah lebih dulu mengungsi, ketika gunung itu baru mengeluarkan asap.
Meskipun gunung tersebut memang selalu mengeluarkan asap dan masyarakat telah terbiasa dengan itu. Namun, keyakinan mereka akan terjadinya bencana alam muncul ketika melihat naiknya ikan-ikan di sekitar pantai dalam jumlah yang sangat besar, dan ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Selain itu, mereka juga melihat banyaknya babi yang keluar dari hutan, hingga mendekat ke kampung-kampung. Meskipun babi adalah salah satu hewan yang tidak asing bagi mereka, namun babi yang keluar saat itu adalah dalam jumlah besar yang tidak seperti biasanya. Karena itu, mereka menganggap bahwa ini merupakan pertanda bahaya. Benar, tak lama kemudian, gunung Kiebesi meletus dahsyat. Wallahu A'lam.[]
Komentar :
Posting Komentar