Perbedaan batasan usia sebetulnya tak jadi masalah kalau konsep pendidikan anak usia dini diterapkan dengan belajar melalui bermain (learning through playing). Sejauh ini, sistem pendidikan anak usia dini 0-6 tahun di Indonesia memang sudah diterapkan. Sejak sekitar tahun 98, banyak lembaga prasekolah yang mengadopsi sistem pendidikan anak usia dini dari luar negeri. Meski sistem tersebut kerap “dituduh” tidak sesuai dengan latar budaya kita. Seiring berjalannya waktu dan pemahaman mengenai pendidikan anak usia dini (PAUD), sejak tahun 2000-an mulai banyak pakar dan tenaga pendidik yang mendalami masalah ini.
Namun kemudian, tersisa masalah bagi anak di rentang usia 6-8 tahun. Bagaimana mengisi “kekosongan” tersebut? Perlukah sistem yang sudah diterapkan saat ini di sekolah-sekolah dasar diganti atau diubah mengikuti konsep PAUD 0-8 tahun?
SEKOLAH DASAR AWAL
Ditinjau dari psikologi perkembangan, usia 6-8 tahun memang masih berada dalam rentang usia 0-8 tahun. Itu berarti pendidikan yang diberikan dalam keluarga maupun di lembaga pendidikan formal haruslah kental dengan nuansa pendidikan anak usia dini, yakni dengan mengutamakan konsep belajar melalui bermain.
Kenyataannya di sini, anak usia 6-8 tahun yang tengah berada dalam masa peralihan dari prasekolah (TK) ke sekolah dasar (SD) sudah dituntut mengembangkan berbagai keterampilan dasar yang sifatnya akademis. Tak sedikit guru yang menyalahartikan bahwa siswa kelas 1 dan 2 sudah harus menguasai keterampilan membaca, menulis, dan berhitung (calistung).
Itulah mengapa pembelajaran di awal sekolah dasar di sini sudah bersifat skolastik alias mengedepankan logika. Imbas-nya, anak jadi terpasung di meja belajar hanya untuk menyimak penjelasan guru mengenai materi pelajaran. Yang tak kalah mengenaskan, perolehan informasi lebih dititikberatkan pada hafalan dan bukannya mengetahui sesuatu berdasarkan pema- haman. Akibatnya, anak jadi kurang terlatih mengembangkan kemampuan menganalisa dan berpikir kreatif.
Padahal, menurut konsep PAUD yang sebenarnya, mereka seharusnya dikondisikan dalam suasana belajar aktif, kreatif, dan menyenangkan lewat berbagai permainan. Dengan demikian, kebutuhannya akan rasa aman dan nyaman tetap terpenuhi. Kalaupun kepada siswa SD kelas awal ingin diajarkan konsep berhitung, contohnya, pilihlah sarana pembelajaran melalui nyanyian atau cara lain yang mudah dipahami dan menyenangkan.
Hanya saja, meski sama-sama melalui cara yang menyenangkan, tujuan pendidikan anak usia prasekolah berbeda dari pendidikan anak usia sekolah dasar awal. Kalau pendidikan bagi anak usia prasekolah bertujuan mengoptimalkan tumbuh kembang anak, maka konsep pendidikan di awal sekolah dasar bertujuan mengarahkan anak agar dapat mengikuti tahapan-tahapan pendidikan sesuai jenjangnya. Selain tentu saja untuk mengembangkan berbagai kemampuan, pengetahuan, dan keterampilan guna mengoptimalkan kecerdasannya.
JIKA TAK SESUAI KONSEP
Jika di sekolah dasar awal, pendidikan anak tak sesuai dengan konsep PAUD, maka berbagai kendala sudah menghadang di depan mata. Terutama kendala psikis yang akhirnya akan berdampak pada proses belajarnya. Salah satunya anak bingung dan merasa dirinya tidak siap menerima materi pelajaran.
Kebingungan ini bisa dimengerti mengingat lingkungan yang dimasukinya juga serba-baru, baik teman, guru maupun suasana kelasnya. Akibatnya, bukan mustahil anak lantas mogok sekolah. Kalaupun dijalaninya, besar kemungkinan penuh keterpaksaan sehingga materi pelajaran yang disampaikan guru tak dapat diserapnya dengan baik. Dampak buruk berikutnya, potensi kecerdasan anak tidak berkembang secara optimal.
PUSAT PEMBELAJARAN
Nah, agar masa peralihan ini tidak terlalu mengejutkan, anak perlu diantarkan pada proses belajar yang menyenangkan. Awalnya, sekolah bisa mengadakan program pengenalan pada lingkungan sekolah seperti guru, teman-teman, suasana kelas, cara belajar di kelas dan sebagainya. Tak perlu kelewat sering, cukup sebanyak 2-3 kali pertemuan. Ini penting mengingat tak semua anak punya kemampuan beradaptasi yang sama baik pada lingkungan barunya.
Proses pembelajaran pun harus sesuai dengan konsep pendidikan anak usia dini. Mengajarkan konsep membaca dan berhitung, contohnya, haruslah dengan cara yang menarik dan bisa dinikmati anak. Yang tidak kalah penting, selama proses belajar, jadikan anak sebagai pusatnya dan bukannya guru yang mendominasi kelas. Dalam pelaksanaannya, inilah yang disebut CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif). Jadi bukannya “CBSA” yang kerap diplesetkan sebagai “Catat Buku Sampai Abis“.
Sementara pendidikan usia dini yang diberikan dalam keluarga juga harus berpijak pada konsep PAUD. Artinya, pola asuh yang diterapkan orang tua hendaknya cukup memberi kebebasan kepada anak untuk mengembangkan aneka keterampilan dan kemandiriannya. Ingat, porsi waktu terbesar yang dimiliki anak adalah bersama keluarganya dan bukan di sekolah.
BUTUH KEAHLIAN
Menerapkan sistem pendi- dikan anak usia dini, khususnya bagi siswa sekolah dasar awal memang bukan hal mudah. Baik guru maupun orang tua dituntut untuk memiliki berbagai keterampilan tertentu. Berikut beberapa di antaranya:
* Memahami karakteristik anak usia dini
Pemahaman mengenai karakteristik anak sesuai pertumbuhan dan perkembangannya akan sangat membantu dalam menyesuaikan proses belajar bagi anak dengan usia, kebutuhan, dan kondisi masing-masing, baik secara intelektual, emosional dan sosial.
* Memahami konsep pendidikan anak usia dini
Baik guru maupun orang tua idealnya memiliki bekal pemahaman tentang pembelajaran anak usia dini yang mengutamakan konsep belajar melalui bermain. Termasuk seperti apa materi pembelajarannya dan bagaimana proses penyampaiannya dengan tidak mengabaikan karakteristik anak sebagai individu pembelajar yang unik.
* Kreatif
Guru dan orang tua yang kreatif sangat berperan dalam proses pendidikan anak usia dini. Dari mereka dituntut kreativitas tinggi agar dengan berbagai cara menyenangkan dapat mengaktifkan seluruh siswa sekaligus memotivasi anak untuk terus belajar.
Komentar :
Posting Komentar