Senin, 07 Februari 2011

Nyawa Jemaah Ahmadiyah Kian Terancam

VIVAnews - Di negeri Pancasila ini gelombang kekerasan terus dilakukan sejumlah warga negara terhadap sesamanya yang memilih menjadi anggota Jemaah Ahmadiyah Indonesia. Minggu, 6 Februari 2011, kenyataan pahit itu kembali terjadi di Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Banten. Kali ini bahkan sampai merenggut tiga nyawa manusia sekaligus.

Nyawa Roni (20 tahun) warga Jakarta, Mulyadi (35 tahun), dan Parno (35 tahun), melayang di ujung senjata tajam orang-orang yang secara brutal menyerang mereka. Parno sendiri merupakan salah satu jemaah Ahmadiyah yang baru dibai’at. Tujuh jemaah lainnya luka berat terkena hantaman berbagai jenis senjata berbahaya. Kini mereka semua dirawat di Rumah Sakit Pandeglang.

Ustadz Abdul Rahmin, salah satu saksi mata yang juga ikut dibacok, dengan gemetar menceritakan kengerian itu kepada VIVAnews.com.
Sejak pagi, 21 warga Ahmadiyah berkumpul di rumah Ustadz Suparman. “Waktu itu kami hanya silaturahmi saja di sana. Tidak ada kegiatan apa-apa,” kata Ustadz Abdul.

Saat berkumpul, mereka dikabari oleh polisi setempat bahwa rumah itu akan didatangi massa. Mendengar informasi itu, jamaah minta agar polisi menjaga keselamatan mereka.

Benar saja. Sekitar pukul 10.45 WIB, massa berdatangan. Ustadz Abdul melihat polisi yang berjaga-jaga di sekitar rumah kewalahan. “Polisi sudah berjaga-jaga, tapi, tidak seimbang dan terdesak. Saya kaget, kami panik. Mereka langsung menyerbu. Mereka bawa golok,” kata Ustadz Abdul.

Jemaah Ahmadiyah sempat memberi perlawanan sekadarnya, antara lain dengan melemparkan benda yang ada di sekitar. Sebagian lain pasrah dan hanya berdoa. Tapi itu tak sekukupun meredakan kemarahan penyerang. Mereka makin membabi buta. Jemaah Ahmadiyah tak berdaya.

Ustadz Abdul berupaya menghadang mereka. Tapi, tentu saja, sia-sia belaka. “Umat Islam dilarang menganiaya orang yang sudah teraniaya!” teriak Ustadz Abdul kepada penyerang. “Saya berupaya meredakan semampuan saya.”

Massa terus mengamuk. “Akhirnya kami terdesak ke belakang, ke sawah. Di situlah kami dihajar. Tidak manusiawi,” kata Ustadz Abdul, dengan nada gemetar. Kronologi lengkap penyerangan klik di sini.
Siapa menyerang?
Ustadz Abdul tidak mau gegabah menuding pihak yang berada di belakang amuk brutal itu. Dia menyerahkan semuanya pada yang berwajib. Ustadz hanya minta satu hal, jangan anggota Ahmadiyah diserang lagi karena, menurut dia, jemaah yang didirikan Mirza Ghulam Ahmad ini bukanlah kumpulan teroris dan orang jahat.

Sejauh ini belum ada kelompok manapun yang mengaku bertanggung jawab terhadap kekejaman yang terjadi di daerah yang dulu terkenal dengan kerajaan Islam-nya itu.

Tetapi, kata Juru Bicara JAI, Zafrullah A Pontoh, motivasi penyerbuan ini sama juga seperti yang terjadi di berbagai daerah di Tanah Air. "Akibat penolakan warga (untuk menghentikan aktivitas Jemaah Ahmadiyah) terjadi peristiwa berdarah ini. Masa orang mau salat jamaah dilarang."

Gelombang penolakan ini, lanjut Zafrullah, didasarkan pada Fatwa Majelis Ulama Indonesia yang menyebut Ahmadiyah sebagai aliran sesat, sehingga para penyerang selalu merasa perbuatannya di jalur yang benar.

Fatwa yang dimaksud ialah hasil Munas II MUI tahun 1980 yang menetapkan aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam).

Di dunia internasional, aliran ini bernaung di bawah bernama Jemaah Muslim Ahmadiyah. Menurut klaim para pengurusnya, ini merupakan organisasi keagamaan yang telah tersebar ke lebih dari 185 negara di dunia dengan jumlah anggota sekitar 150 juta orang.

Tokoh muslim yang disegani dan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Ahmad Syafi'i Ma'arif, ikut prihatin dengan aksi kekerasan ini. Dia menghimbau, demi tercapainya kedamaian di antara sesama manusia, umat Muslim seyogyanya tetap mengedepankan toleransi.

Syafi'i juga mengingatkan Indonesia adalah negara hukum dan karena itu semua bentuk kekerasan tidak boleh luput dari jerat hukum. "Hukum harus ditegakkan. Jangankan dengan warga Ahmadiyah, kepada orang asing pun kita wajib menghormati," ujarnya.
Kepada jemaah Ahmadiyah, Syafi'i meminta agar mereka mulai bersikap lebih terbuka, tidak lagi hidup eksklusif, dan berbaur dengan masyarakat sekeliling. Ia melihat eksklusivitas kelompok menjadi salah satu penyebab terjadinya ketegangan dan kesalahpahaman. "Tapi, betapapun mereka eksklusif, tidak boleh ada tindakan kekerasan kepada mereka," ia menegaskan.
SKB Tiga Menteri
Pernyataan Syafi'i itu sejalan dengan isi Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri: Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Butir ke-4 dari enam butir dalam SKB itu tertulis, "Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban kehidupan masyarakat dengan tidak melakukan perbuatan dan/atau tindakan melawan hukum terhadap penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaah Ahmadiyah Indonesia."
Ironisnya, alih-alih menciptakan ketenangan, SKB itu kini jadi seperti pemicu gelombang kekerasan terhadap Jemaah Ahmadiyah. SKB itu dijadikan landasan untuk menuntut penutupan tempat ibadah Jemaah Ahmadiyah. Kasus kekerasan terhadap Jemaah Ahmadiyah pun terus terjadi saban tahun, dengan intensitas kekerasan yang terus meningkat.
Menurut data SETARA Institute, aksi kekerasan terhadap Jemaah Ahmadiyah terjadi hampir setiap tahun. Pada tahun 2007 terjadi 15 kasus,  pada tahun 2008 sebanyak 238 kasus, pada 2009 ada 33 kasus. Kekerasan terjadi di berbagai daerah, seperti Kuningan, Bogor, Tasikmalaya, dan Garut.

Belum lama ini, tepatnya pada 29 Januari kemarin, sekelompok orang mengepung Sekretariat Jemaah Ahmadiyah di Jalan Anuang, Makassar. Alhamdulillah, ketika itu tak ada korban jiwa. Puluhan anggota Ahmadiyah berhasil diselamatkan ke kantor polisi sebelum diterjang amuk massa. (kd)

Sudah Baca Yang Ini..?



Komentar :

ada 0 komentar ke “Nyawa Jemaah Ahmadiyah Kian Terancam”

Posting Komentar

Arsip Blog

Reader Community

 
This Blog is proudly powered by Blogger.com | Template by Angga Leo Putra