Selasa, 17 Juni 2008
HUKUM LINGKUNGAN
- sejarah
pemikiran untuk mengkaji dan mengembangkan masalah lingkungan hidup di Indonesia untuk pertama kali di mulai pada tahun 1972 . ketika prof. Dr. mochtar atmadja . SH.LLM menyampaikan beberapa pikiran dan saranya tentang bagaimana peratuaran hokum lingkungan tersebut . setelah berlakunya UU lingkungan hidup pada tgl 11-03-1982 , terciptanya suatu system yang memayungi semua peraturan P�UU-an
- pengertian
keseluruhan poeratuaran yang mengatur tingkah laku manusia tentang apa seharusnya di lakukan atau tidak terhadap lingkungan hidup
- asas, tujuan &sasaran hokum lingkungan
- terciptanya keselarasan hubungan sntar manusia dengan lingkungan hidup
- terkendalinya pemanfaatan sumber daya alam secvara bijaksana
- terwujudnya manusia Indonesia sebagai Pembina lingkungan hidup
- terlaksananya pembangunan berwawasan lingkungan untuk kepentingan generasi sekarang &mendatang
- terlindungnya Negara terhadap dampak kegiatan di luar wilayah Negara yang menyebabkan kerusakan & pencemaran lingkungan
SUATU TINJAUAN
Suatu proses yang melibatkan masyarakat umum, dikenal sebagai peran serta masyarakat. Yaitu proses komunikasi dua arah yang berlangsung terus-menerus untuk meningkatkan pengertian masyarakat secara penuh atas suatu proses kegiatan, dimana masalah-masalah dan kebutuhan lingkungan sedang dianalisa oleh badan yang berwenang (Canter, 1977). Secara sederhana Canter mendefinisikan sebagai feed-forward information (komunikasi dari pemerintah kepada masyarakat tentang suatu kebijakan) dan feedback information (komunikasi dari masyarakat ke pemerintah atas kebijakan itu).
Dari sudut terminologi peran serta msyarakat dapat diartikan sebagai suatu cara melakukan interaksi antara dua kelompok; Kelompok yang selama ini tidak diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan (non-elite) dan kelompok yang selama ini melakukan pengambilan keputusan (elite). Bahsan yang lebih khusus lagi, peran serta masyarakat sesungguhnya merupakan suatu cara untuk membahas incentive material yang mereka butuhkan (Goulet, 1989). Dengan perkataan lain, peran serta masyarakat merupakan insentif moral sebagai "paspor" mereka untuk mempengaruhi lingkup-makro yang lebih tinggi, tempat dibuatnya suatu keputusan-keputusan yang sangat menetukan kesejahteraan mereka.
Cormick (1979) membedakan peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan berdasarkan sifatnya, yaitu yang bersifat konsultatif dan bersifat kemitraan. Dalam peran serta masyarakat dengan pola hubungan konsultatif antara pihak pejabat pengambil keputusan dengan kelompok masyarakat yang berkepentingan, anggota-anggota masyarakatnya mempunyai hak untuk didengar pendapatnya dan untuk diberi tahu, dimana keputusan terakhir tetap berada di tangan pejabat pembuat keputusan tersebut. Sedang dalam konteks peran serta masyarakat yang bersifat kemitraan, pejabat pembuat keputusan dan anggota-anggota masyarakat merupakan mitra yang relatif sejajar kedudukannya. Mereka bersama-sama membahas masalah, mencari alternatif pemecahan masalah danmembahas keputusan.
Ternyata masih banyakyang memandang peran serta masyarakat semata-mata sebagai penyampaian informasi (public information), penyuluhan, bahkan sekedar alat public relation agar proyek tersebut dapat berjalan tanpa hambatan. Karenanya, peran serta masyarakat tidak saja digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan, tetapi juga digunakan sebagai tujuan (participation is an end itself).
Disamping persepsi yang dikemukakan Canter (1977), Cormick (1979), Goulet (1989) dan Wingert (1979) merinci peran serta masyarakat sebagai berukut :
1. Peran Serta Msyarakat sebagai suatu Kebijakan
Penganut paham ini berpendapat bahwa peran serta masyarakat merupakan suatu kebijaksanaan yang tepat dan baik untuk dilaksanakan. Paham ini dilandasi oleh suatu pemahaman bahwa masyarakat yang potensial dikorbankan atau terkorbankan oleh suatu proyek pembangunan memiliki hak untuk dikonsultasikan (right to be consulted).
2. Peran Serta Masyarakat sebagai Strategi
Penganut paham ini mendalilkan bahwa peran serta masyarakat merupakan strategi untuk mendapatkan dukungan masyarakt (ppublic support). Pendapat ini didasarkan kepada suatu paham bahwa bila masyarakat merasa memiliki akses terhadap pengambilan keputusan dan kepedulian masyarakat kepada pada tiap tingkatan pengambilan keputusan didokumentasikan dengan baik, maka keputusan tersebut akan memiliki kredibilitas.
3. Peran Serta Masyarakat sebagai Alat Komunikasi
Peran serta masyarakat didayagunakan sebagai alat untuk mendapatkan masukan berupa informasi dalam proses pengambilan keputusan. Persepsi ini dilandasi oleh suatu pemikiran bahwa pemerintah dirancang untuk melayani masyarakat, sehingga pandangan dan preferensi dari masyarakat tersebut adalah masukan yang bernilai guna mewujudkan keputusan yang responsif.
4. Peran Serta Masyarakat sebagai Alat Penyelesaian Sengketa
Dalam konteks ini peran serta masyarakat didayagunakan sebagai suatu cara untuk mengurangi atau meredakan konflik melalui usaha pencapaian konsensus dari pendapat-pendapat yang ada. Asumsi yang melandasi persepsi ini adalah bertukar pikiran dan pandangan dapat menigkatkan pengertian dan toleransi serta mengurangi rasa ketidakpercayaan (misstrust) dan kerancuan (biasess).
5. Peran Sera Masyarakat sebagai Terapi
Menurut persepsi ini, peran serta masyarakat dilakukan sebagai upaya untuk "mengobati" masalah-masalah psikologis masyarakat seperti halnya perasaan ketidak berdayaan (sense of powerlessness), tidak percaya diri dan perasaan bahwa diri mereka bukan komponen penting dalam masyarakat.
Dari sudut teori politik, terdapat dua paham teori : teori Participatory Democracy, yang menggugat paham teori Elite Democracy (Gibson, 1981). Paham Elite Democracy melihat hakekat manusia sebagai mahluk yang mementingkan diri sendiri, pemburu kepuasan diri pribadi dan menjadi tidak rasional terutama jika mereka dalam kelompok. Oleh karena itu, dalam hal terjadi konflik kepentingan antara kelompok-kelompok dalam masyarakat, maka pembuatan keputusan sepenuhnya merupakan kewenangan dari kelompok elite yang menjalankan pemerintahan. Kalaupun peran serta masyarakat itu ada, pelaksanaannya hanya terjadi pada saat pemilihan mereka-mereka yang duduk dalam pemerintahan.
Paham Participatory Democracy sebaliknya berpendapat bahwa manusia pada hakekatnya mampu menyelaraskan lepentingan pribadi dengan kepentingan sosial. Penyelarasan kedua macam kepentingan tersebut dapat terwujud jika proses pengambilan keputusan menyediakan kesempatan seluas-luasnya kepada mereka untuk mengungkapkan kepentingan dan pandangan mereka. Proses pengambilan keputusan, yang menyediakan kelompok kepentingan untuk berperan serta didalamnya, dapat mengantarkan kelompok-kelompok yang berbeda kepentingan mereka satu sama lain. Dengan demikian, perbedaan kepentingan dapat dijembatani.
A. Tingkatan dalam Peran Serta Masyarakat
Dari sudut kemampuan masyarakat untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan, terdapat tingkatannya sendiri-sendiri.
Arnstein (1969) menformulasikan peran serta masyarakat sebagai bentuk dari kekuatan rakyat (citizen partisipation is citizen power). Dimana terjadi pembagian kekuatan (power) yang memungkinkan masyarakat yang tidak berpunya (the have-not citizens) yang sekarang dikucilkan dari proses politik dan ekonomi untuk terlibat kelak. Singkat kata, peran serta masyarakat - menurut Arnstein - adalah bagaimana masyarakat dapat terlibat dalam perubahan sosial yang memungkinkan mereka mendapatkan bagian keuntungan dari kelompok yang berpengaruh. Lewat typologinya yang dikenal dengan Delapan Tangga Peran Serta Masyarakat (Eight Rungs on the Ladder of Citizen Participation), Arnstein menjabarkan peran serta masyarakat yang didasarkan pada kekuatan masyarakat untuk menentukan suatu produk akhir. Arnstein juga menekankanbahwa terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara bentuk peran serta yang bersifat upacara semu (empty ritual) dengan betuk peran serta yang mempunyai kekuatan nyata (real power) yang diperlukan untuk mempngaruhi hasil akhir dari suatu proses.
Dua tangga terbawah dikategorikan sebagai "non peran serta", dengan menempatkan bentuk-bentuk peran serta yang dinamakan
(1) terapi dan (2) manipulasi. Sasaran dari kedua bentuk ini adalah untuk "mendidik" dan "mengobati" masyarakt yang berperan serta.
Tangga ketiga, keempat dan kelima dikategorikan sebagai tingkat "Tokenisme" yaitu suatu tingkat peran serta dimana masyarakat didengar dan diperkenankan berpendapat, tetapi mereka tidak boleh memiliki kemampuan untuk mendapatkan jaminan bahwa pandangan mereka akan dipertimbangkan oleh pemegang keputusan. Menurut Arnstein, jika peran serta hanya dibatasi pada tingkatan ini, maka kecil kemungkinannya ada upaya perubahan dalam masyarakat menuju keadaan yang lebih baik. Termasuk dalam tingkat "Tokenisme" adalah (3) penyampaian informasi (informing); (4) konsultasi; dan (5) peredaman kemarahan (placation).
Selanjutnya Arnstein mengkategorikan tiga tangga teratas kedalam tingkat "kekuasaan masyarakat" (citizen power). Masyarakat dalam tingkatan ini memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan dengan menjalankan (6) kemitraan (partnership) dengan memiliki kemampuan tawar-menawar bersama-sama pengusaha atau pada tingkatan yang lebih tinggi (7) pemdelegasian kekuasaan (delegated power) dan (8) pengawasan masyarakat (citizen control). Pad tingkat ketujuh dan kedelapan, masyarakat (non elite) memiliki mayoritas suara dalam proses pengambilan keputusan keputusan bahkan sangat mungkin memiliki kewenangan penuh mengelola suatu obyek kebijaksanaan tertentu.
Delapan tangga peran serta dari Arnstein ini memberikan pemahaman kepada kita, bahwa terdapat potensi yang sangat besar untuk memanipulasi programperan serta masyarakat menjadi suatu cara yang mengelabui (devious method) dan mengurangi kemampuan masyarakat untuk mempengaruhi proses pengambilan keptusan.
B. Kegunaan Peran Serta Masyarakat
Tujuan dari peran serta masyarakat sejak tahap perencanaan adalah untuk menghasilkan masukan dan persepsi yang berguna dari warga negara dan masyarakat yang berkepentingan (public interest) dalam rangka meningkatkan kualitas pengambilan keputusan lingkungan (Canter, 1977). Karena dengan melibatkan masyarakat yang potensial terkena dampak kegiatan dan kelompok kepentingan (interest groups), para pengambil keputusan dapat menangkap pandangan, kebutuhan dan pengharapan dari masyarakat dan kelompok tersebut dan menuangkannya ke dalam konsep. Pandangan dan reaksi masyarakat itu, sebaliknya akan menolong pengambil keputusan untuk menentukan prioritas, kepentingan dan arah yang positif dari berbagai faktor.
Sejak proses peran serta masyarakat haruslah terbuka untuk umum, peran serta masyarakat akan mempengaruhi kredibilitas (accountability) badan yang bersangkutan. Dengan cara mendokumentasikan perbuatan keputusan badan negara ini, sehingga mampu menyediakan sarana yang memuaskan jika masyarakat dan bahkan pengadilan merasa perlu melakukan pemeriksaan atas pertimbangan yang telah diambil ketika membuat keputusan tersebut. Yang pada akhirnya akan dapat memaksa adanya tanggung jawab dari badan negara tersebut atas kegiatan yang dilakukannya.
Perlunya peran serta msyarakat telah pula diungkapkan oleh Prof.Koesnadi Hardjasoemantri (1990) bahwa selain itu memberikan informasi yang berharga kepada para pengambil keputusan, peran serta masyarakat akan mereduksi kemungkinan kesediaan masyarakat untuk menerima keputusan. Selanjutnya, peran serta masyarakat akan membantu perlindungan hukum. Bila suatu keputusan akhir diambil dengan memperhatikan keberatan-keberatan yang diajukan, maka akan memperkecil kemungkinan pengajuan perkara ke pengadilan. Karena masih ada alternatif pemecahan yang dapat diambil sebelum sampai pada keputusan akhir.
Terhadap hal di atas, Hardjasoemantri melihat perlu dipenuhinya syarat-syarat berikut agar peran serta masyarakat menjadi efektif dan berdaya guna (1) Pemastian penerimaan informasi dengan mewajibkan pemrakarsa kegiatan mengumumkan rencana kegiatannya. (2) Informasi Lintas-batas (transfortier information); mengingat masalah lingkungan tidak mengenal batas wilayah yang dibuat manusia, maka ada kemungkinan kerusakan lingkungan di satu daerah akan pula mempengaruhi propinsi atau negara tetangga. Sehingga pertukaran informasi dan pengawasan yang melibatkan daerah-daerah terkait menjadi penting; (3) Informasi tepat waktu (timely information); suatu proses peran serta masyarakat yang efektif memerlukan informasi yang sedini dan seteliti mungkin, sebelum keputusan terakhir diambil. Sehingga, masih ada kesempatan untuk memeprtimbangkan dan mengusulkan altenatif-alternatif pilihan; (4) Informasi yang lengkap dan menyeluruh(comprehensive information); walau isi dari suatu informasi akan berbeda tergantumg keperluan bentuk kegiatan yang direncanakan, tetapi pada intinya informasi itu haruslah menjabarkan rencana kegitana secara rinci termasuk alternatif-alternatif lain yang dapat diambil (5) Informasi yang dapat dipahami (comprehensive information); seringkali pengambilan keputusan di bidang lingkungan meliputi masalah yang rumit, kompleks dan bersifat teknis ilmiah, sehingga haruslah diusahakan informasi tersebut mudah dipahami oleh masyarakat awam. Metode yang sering digunakan adalah kewajiban untuk membuat uraian singkat atas kegiatan yang dilakukan.
Syarat lain yang dapat ditambahkan selain yang telah diuraikan diatas, adalah keharusan adanya kepastian dan upaya terus-menerus untuk memasok informasi agar penerima informasi dapat menghasilkan informasi yang berguna bagi pemberi informasi.
Mas Achmad Santosa (1990) dalam thesisnya telah pula merangkum kegunaan peran serta masyarakat. Walau ini tentu saja tidak dimaksudkan sebagai daftar yang ajeg.
(1) Menuju masyarakat yang lebih bertanggung jawab;
Kesempatan untuk berperan serta dalam kegiatan publik, akan memaksa orang yang bersangkutan untuk membuka cakrawala pikirannya dan mempertimbangkan kepentingan publik (Mill 1990). Sehingga orang tersebut tidak semata-mata memikirkan kepentingannya sendiri, tetapi akan lebih memiliki sifat bertanggung jawab dengan mempertimbangkan kepentingan bersama.
(2) Meningkatkan proses belajar;
Pengalaman berperan serta secara psikologis akan memberikan seseorang kepercayaan yang lebih baik untuk berperan serta lebih jauh.
(3) Mengeliminir perasaan terasing;
Dengan turut aktifnya berperan serta dalam suatu kegiatan, seseorang tidak akan merasa terasing. Karena dengan berperan serta akan meningkatkan perasaan dalam seseorang bahwa ia merupakan bagian dari masyarakat.
(4) Menimbulkan dukungan dan penerimaan dari rencana pemerintah;
Ketika seseorang langsung terlibat dalam proses pengambilan keputusan yang akan mempengaruhi kehidupannya, mereka cenderung akan mempunyai kepercayaan dan menerima hasil akhir dari keputusan itu. Jadi, program peran serta masyarakat menambah legitimasi dan kredibilitas dari proses perencanaan kebijakan publik. Serta menambah kepercayaan publik atas proses politik yang dijalankan para pengambil keputusan.
(5) Menciptakan kesadaran politik;
John Stuart Mill (1963) berpendapat bahwa peran serta pada tingkat lokal, dimana pendidikan nyata dari peran serta terjadi, seseorang akan "belajar demokrasi". Ia mencatat bahwa orang tidaklah belajar membaca atau menulis dengan kata-kata semata, tetapi dengan melakukannya. Jadi, hanya dengan terus berpraktek pemerintahan dalam skala kecil akan membuat masyarakat belajar bagaimana mempraktekkannya dalam lingkup yang lebih besar lagi.
(6) Keputusan dari hasil peran serta mencerminkan kebutuhan dan keinginan masyarakat;
Menurut Verba dan Nie (1972) bahw amelalui peran serta masyarakat distribusi yang lebih adil atas keuntungan pembangunan akan didapat, karena rentang kepentingan yang luas tercakup dalam proses pengambilan keputusan.
(7) Menjadi sumber dari informasi yang berguna;
Masyarakat sekitar, dalam keadaan tertentu akan menjadi "pakar" yang baik karena belajar dari pengalaman atau karena pengetahuan yang didapatnya dari kegiatan sehari-hari. Keunikan dari peran serta adalah masyarakat dapat mewakili pengetahuan lokal yang berharga yang belum tentu dimiliki oleh pakar lainnya, sehingga pengetahuan itu haruslah termuat dalam proses pembuatan keputusan.
(8) Merupakan komitmen sistem demokrasi;
Program peran serta msyarakat membuka kemungkinan meningkatnya akses masyarakat ke dalam proses pembuatan keputusan (Devitt, 1974).
E.WEWENANG DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN
1. Pemerintah Kewenangan Pusat dan daerah dalam UU No 22 tahun 1999.
Dalam bidang lingkungan hidup kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah sangat menentukan akan tetapi dengan adanya UU No 22 tentang Otonomi daerah maka kewenangan pengelolaan lingkungan hidup menjadi terbagi dua hal ini dapat dicermati dalam pasal 7 UU NO 22 tahun 1999, yaitu:
(1) Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintah, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.
(2) Kewenangan bidang lain, sebagaimana dimaksud pada ayat(1), meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standarisasi nasional.
Dalam UU nomor 22 tahun 1999 memperlihatkan kewenangan pemetrintah pusat yang ingin dibagi kepada daerah akan tetapi jika dilihat dari pasal 7 ayat 2 sangat terlihat pembatasan kewenangan pemerintahan daerah, sebenarnya pasal 7 ayat 2 harus diperjelas lagi apa yang dimaksud dengan kewenangan bidang lain yang diatur oleh UU No 22 tahun 1999. Kalau dilihat dari ayat 2 maka akan terlihat kewenangan pemerintah pusat yang masih besar.
2. Penjelasan Kewenangan dalam Sistem Pemerintahan setelah UU No 22 tahun 1999
Untuk mengantisipasi berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, tim kerja Menko Wasbangpan dan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup/Bapedal telah mencoba merumuskan interpretasi kewenangan pengelolaan lingkungan hidup menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999.
Secara umum, kewenangan pengelolaan lingkungan hidup dapat dibedakan menjadi :
� Kewenangan Pusat
� Kewenangan Propinsi
� Kewenangan Kabupaten/Kota.
Kewenangan Pusat terdiri dari kebijakan tentang :
� Perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan secara makro;
� Dana perimbangan keuangan seperti menetapkan dan alokasi khusus untuk mengelola lingkungan hidup;
� Sistem administrasi negara seperti menetapkan sistem informasi dan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan lingkungan hidup;
� Lembaga perekonomian negara seperti menetapkan kebijakan usaha di bidang lingkungan hidup;
� Pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia;
� Teknologi tinggi strategi seperti menetapkan kebijakan dalam pemanfaatan teknologi strategi tinggi yang menimbulkan dampak;
� Konservasi seperti menetapkan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup kawasan konservasi antar propinsi dan antar negara;
� Standarisasi nasional;
� Pelaksanaan kewenangan tertentu seperti pengelolaan lingkungan dalam pemanfaatan sumber daya alam lintas batas propinsi dan negara, rekomendasi laboratorium lingkungan dsb.
Kewenangan Propinsi terdiri dari :
� Kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten/Kota;
� Kewenangan dalam bidang tertentu, seperti perencanaan pengendalian pembangunan regional secara makro, penentuan baku mutu lingkungan propinsi, yang harus sama atau lebih ketat dari baku mutu lingkungan nasional, menetapkan pedoman teknis untuk menjamin keseimbangan lingkungan yang ditetapkan dalam rencana tata ruang propinsi dan sebagainya.
� Kewenangan dekonsentrasi seperti pembinaan AMDAL untuk usaha atau dan kegiatan di luar kewenangan pusat.
Kewenangan Kabupaten/Kota terdiri dari :
� Perencanaan pengelolaan lingkungan hidup;
� Pengendalian pengelolaan lingkungan hidup;
� Pemantauan dan evaluasi kualitas lingkungan;
� Konservasi seperti pelaksanaan pengelolaan kawasan lindung dan konservasi, rehabilitasi lahan dsb.
� Penegakan hukum lingkungan hidup
3. Pelaksanaan Kewenangan Pemerintah Pusat dan daerah dalam melakukan pengelolaan lingkungan hidup.
Pemerintah Pusat dalam melakukan kewenangannya di bidang pengelolaan lingkungan hidup harus mengikuti kebijakan yang telah diterapkan oleh Menko Wasbangpan dan Menteri Negara Lingkungan Hidup. Jangan sampai pengurangan kewenangan pemerintah Pusat di bidang lingkungan hidup tidak bisa mencegah kesalahan pengelolaan lingkungan hidup demi mengejar Pemasukan APBD khususnya dalam pos Pendapatan Asli Daerah.
|
PERADILAN TATA USAHA NEGARA
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tanggal 29 Desember 1986
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Presiden Republik Indonesia,
Menimbang :
a.
bahwa negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
bertujuan mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang
sejahtera, aman, tenteram, serta tertib, yang menjamin
persamaan kedudukan warga masyarakat dalam hukum, dan
yang menjamin terpeliharanya hubungan yang serasi, seimbang,
serta selaras antara aparatur di bidang Tata Usaha Negara
dengan para warga masyarakat;
b.
bahwa dalam mewujudkan tata kehidupan tersebut, dengan jalan
mengisi kemerdekaan melalui pembangunan nasional secara
bertahap, diusahakan untuk membina, menyempurnakan, dan
menertibkan aparatur di bidang Tata Usaha Negara, agar mampu
menjadi alat yang efisien, efektit, bersih, serta berwibawa, dan
yang dalam melaksanakan tugasnya selalu berdasarkan hukum
dengan dilandasi semangat dan sikap pengabdian untuk
masyarakat;
c.
bahwa meskipun pembangunan nasional hendak menciptakan
suatu kondisi sehingga setiap warga masyarakat dapat menikmati
suasana serta iklim ketertiban dan kepastian hukum yang
berintikan keadilan, dalam pelaksanaannya ada kemungkinan
timbul benturan kepentingan, perselisilian, atau sengketa antara
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan warga
masyarakat yang dapat merugikan atau menghambat jalannya
pembangunan nasional;
d.
bahwa untuk menyelesaikan sengketa tersebut diperlukan adanya
Peradilan Tata Usaha Negara yang mampu menegakkan
keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum, sehingga
dapat memberikan pengayoman kepada masyarakat, khususnya
dalam hubungan antara Badan atau Pejabat Tata Usaba Negara
dengan masyarakat;
e.
bahwa sehubungan dengan pertimbangan tersebut, dan sesuai
pula dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, perlu
dibentuk Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha. Negara;
Mengingat :
1.
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 24, dan Pasal 25
Undang-Undang Dasar 1945;
2.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Nomor IV/MPR/1978 dihubungkan dengan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1983
tentang Garis-garis Besar Haluan Negara;
3.
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara
Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2951);
4.
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3316);
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Pertama
Pengertian
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1.
Tata Usaha Negara adalah Administrasi Negara yang melaksanakan fungsi
untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah;
2.
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang
melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
3.
Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan
oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata
Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata;
4.
Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata
Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat
dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
5.
Gugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara dan diajukan ke Pengadilan untuk mendapatkan putusan;
6.
Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan
keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan
kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata;
7.
Pengadilan adalah Pengadilan Tata Usaha Negara dan/atau Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara;
8.
Hakim adalah Hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara dan/atau Hakim pada
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Pasal 2
Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-
undang ini :
a.
Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;
b.
Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat
umum;
c.
Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;
d.
Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab
Undang-undang Hukum Pidana atau Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;
e.
Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan
badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
f.
Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Angkatan
Bersenjata
Republik Indonesia;
g.
Keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil
pemilihan umum.
Pasal 3
(1)
Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan,
sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan
Keputusan Tata Usaha Negara.
(2)
Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan
keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan
data peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan
keputusan yang dimaksud.
(3)
Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan
jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka
waktu empat bulan sejak diterimnya permohonan, Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan
penolakan.
Bagian Kedua
Kedudukan
Pasal 4
Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi
rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara.
Pasal 5
(1)
Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dilaksanakan
oleh :
a.
Pengadilan Tata Usaha Negara;
b.
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
(2)
Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara berpuncak
pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.
Bagian Ketiga
Tempat Kedudukan
Pasal 6
(1)
Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di kotamadya atau ibukota
kabupaten, dan daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten.
(2)
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota propinsi, dan
daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi.
Bagian Keempat
Pembinaan
Pasal 7
(1)
Pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan dilakukan oleh Mahkamah Agung.
(2)
Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan Pengadilan dilakukan oleh
Departemen Kehakiman.
(3)
Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak boleh
mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus sengketa Tata
Usaha Negara.
BAB II
SUSUNAN PENGADILAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 8
Pengadilan terdiri atas :
a.
Pengadilan Tata Usaha Negara, yang merupakan pengadilan tingkat pertama;
b.
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, yang merupakan pengadilan tingkat
banding.
Pasal 9
Pengadilan Tata Usaha Negara dibentuk dengan Keputusan Presiden.
Pasal 10
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dibentuk dengan undang-undang.
Pasal 11
(1)
Susunan Pengadilan terdiri atas Pimpinan, Hakim Anggota, Panitera, dan
Sekretaris.
(2)
Pimpinan Pengadilan terdiri atas seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua.
(3)
Hakim anggota pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara adalah Hakim
Tinggi.
Bagian Kedua
Ketua, Wakil Ketua, Hakim, dan Panitera Pengadilan
Paragraf 1
Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim
Pasal 12
(1)
Hakim adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman.
(2)
Syarat dan tata cara pengangkatan, pemberhentian, serta pelaksanaan tugas
Hakim ditetapkan dalam Undang-undang ini.
Pasal 13
(1)
Pembinaan dan pengawasan umum terhadap Hakim sebagai pegawai negeri,
dilakukan oleh Menteri Kehakiman.
(2)
Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak boleh
mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus sengketa Tata
Usaha Negara.
Pasal 14
(1)
Untuk dapat diangkat menjadi Hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara,
seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a.
warga negara Indonesia;
b.
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c.
setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
d.
bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia,
termasuk organisasi massanya atau bukan seseorang yang terlibat
langsung ataupun tak langsung dalam "Gerakan Kontra Revolusi
G.30.S/PKI" atau organisasi terlarang lainnya;
e.
pegawai negeri;
f.
sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian di bidang Tata
Usaha Negara;
g.
berumur serendah-rendahnya dua puluh lima tahun;
h.
berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.
(2)
Untuk dapat diangkat menjadi Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Tata Usaha
Negara diperlukan pengalaman sekurang-kurangnya sepuluh tahun sebagai
Hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pasal 15
(1)
Untuk dapat diangkat menjadi Hakim pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a.
syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), huruf a
huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf h;
b.
berumur serendah-rendahnya empat puluh tahun;
c.
berpengalaman sekurang-kurangnya lima tahun sebagai Ketua atau
Wakil Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara, atau sekurang-kurangnya
lima belas tahun sebagai Hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara.
(2)
Untuk dapat diangkat menjadi Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
diperlukan pengalaman sekurang-kurangnya sepuluh tahun sebagai Hakim pada
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara atau sekurang-kurangnya lima tahun bagi
Hakim pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang pernah menjabat Ketua
Pengadilan Tata Usaha Negara.
(3)
Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara diperlukan pengalaman sekurang-kurangnya delapan tahun sebagai
Hakim pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara atau sekurang-kurangnya
tiga tahun bagi Hakim pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang pernah
menjabat Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pasal 16
(1)
Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul
Menteri Kehakiman berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
(2)
Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Menteri
Kehakiman berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 17
(1)
Sebelum memangku jabatannya, Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim Pengadilan
wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama atau kepercayaan; bunyi
sumpah atau janji itu adalah sebagai berikut :
"Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk
memperoleh jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan
menggunakan nama atau cara apa pun juga, tidak memberikan atau menjanjikan
barang sesuatu kepada siapa pun juga".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak
langsung dari siapa pun juga suatu janji atau pemberian".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan
mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai pandangan hidup
bangsa, dasar negara, dan ideologi nasional: Undang-Undang Dasar 1945, dan
segala undang-undang, serta peraturan lain yang berlaku bagi negara Republik
Indonesia".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan
saya ini dengan jujur, seksama dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan
akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya ini sebaik-baiknya dan seadil-
adilnya seperti layaknya bagi seorang Ketua/Wakil Ketua/Hakim yang berbudi
baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan".
(2)
Wakil Ketua dan Hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara diambil sumpah
atau janjinya oleh Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara.
(3)
Wakil Ketua dan Hakim pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara serta Ketua
Pengadilan Tata Usaha Negara diambil sumpah atau janjinya oleh Ketua
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
(4)
Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara diambil sumpah atau janjinya oleh
Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 18
(1)
Kecual ditentuakan lain oleh atau berdasarkan undang-undang, Hakim tidak
boleh merangkap menjadi :
a.
pelaksana putusan pengadilan;
b.
wali pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara yang
diperiksan olehnya;
c.
pengusaha.
(2)
Hakim tidak boleh merangkap menjadi penasihat hukum.
(3)
Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Hakim selain jabatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 19
(1)
Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan dengan hormat dari jabatannya
karena :
a.
permintaan sendiri;
b.
sakit jasmani atau rohani terus-menerus;
c.
telah berumur enam puluh tahun bagi Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim
pada Pengadilan Tata Usaha Negara dan enam puluh tiga tahun bagi
Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara;
d.
ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.
(2)
Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim yang meninggal dunia dengan sendirinya
diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden selaku Kepala
Negara.
Pasal 20
(1)
Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan tidak dengan hormat dari
jabatannya dengan alasan :
a.
dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;
b.
melakukan perbuatan tercela;
c.
terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas
pekerjaannya;
d.
melanggar sumpah atau janji jabatan;
e.
melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.
(2)
Pengusulan pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf b sampai dengan huruf e dilakukan setelah yang
bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri di hadapan Majelis
Kehormatan Hakim.
(3)
Pembentukan, susunan, dan tata keda Majelis Kehormatan Hakim serta tata
cara pembelaan diri ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung bersama-sama
Menteri Kehakiman.
Pasal 21
Seorang Hakim yang diberhentikan dari jabatannya tidak dengan sendirinya
diberhentikan sebagai pegawai negeri.
Pasal 22
(1)
Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim sebelum diberhentikan tidak dengan hormat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1), dapat diberhentikan sementara
dari jabatannya oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Menteri
Kehakiman berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
(2)
Terhadap pengusulan pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), berlaku juga ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat
(2).
Pasal 23
(1)
Apabila terhadap seorang Hakim ada perintah penangkapan yang diikuti dengan
penahanan, dengan sendirinya Hakim tersebut diberhentikan sementara dari
jabatannya.
(2)
Apabila seorang Hakim dituntut di muka Pengadilan Negari dalam perkara
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-undang Nomor
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tanpa ditahan, maka ia dapat
diberhentikan sementara dari jabatannya.
Pasal 24
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentain dengan hormat,
pemberhentian tidak dengan hormat, dan pemberhentaian sementara, serta hak-hak
pejabat yang terhadapnya dikenakan pemberhentian, diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 25
(1)
Kedudukan protokol Hakim diatur dengan Keputusan Presiden.
(2)
Tunjangan dan ketentuan lainnya bagi Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diatur
dengan Keputusan Presiden.
Pasal 26
(1)
Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim dapat ditangkap atau ditahan hanya atas
perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan dari Ketua Mahkamah
Agung dan Menteri Kehakiman.
(2)
Dalam hal :
a.
Tertangkap tangan melakukan tindak Pidana kejahatan, atau
b.
disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan
pidana mati, atau
c.
disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan
negara.
Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim dapat ditangkap tanpa perintah dan
persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Paragraf 2
Panitera
Pasal 27
(1)
Pada setiap Pengadilan ditetapkan adanya kepaniteraan yang dipimpin oleh
seorang Panitera.
(2)
Dalam melaksanakan tugasnya Panitera Pengadilan dibantu oleh seorang Wakil
Panitera, beberapa orang Panitera Muda, dan beberapa orang Panitera
Pengganti.
Pasal 28
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara, seorang calon
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a.
warga negara Indonesia;
b.
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c.
setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
d.
serendah-rendahnya berijazah sarjana muda hukum;
e.
berpengalaman sekurang-kurangnya empat tahun sebagai Wakil Panitera atau
tujuh tahun sebagai Panitera Muda Pengaditan Tata Usaha Negara, atau
menjabat sebagai Wakil Panitera Pangadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Pasal 29
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, seorang
calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a.
syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, huruf b, dan huruf
c
b.
berijazah sarjana hukum;
c.
berpengalaman sekurang-kurangnya empat tahun sebagai Wakil Panitera atau
delapan tahun sebagai Panitera Muda Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara,
atau empat tahun sebagai Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pasal 30
Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara, seorang
calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a.
syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, huruf b, huruf c,
dan huruf d;
b.
berpengalaman sekurang-kurangnya empat tahun sebagai Panitera Muda atau
enam tahun sebagai Panitera Pengganti Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pasal 31
Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Panitera Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara,
seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a.
syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, huruf b, dan huruf
c;
b.
berijazah sarjana hukum;
c.
berpengalaman sekurang-kurangnya empat tahun sebagai Panitera Muda atau
tujuh tahun sebagai Panitera Pengganti Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
atau empat tahun sebagai Wakil Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara, atau
menjabat sebagai Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pasal 32
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Muda Pengadilan Tata Usaha Negara, seorang
calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a.
syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, huruf b, huruf c,
dan huruf d;
b.
berpengalaman sekurang-kurangnya tiga tahun sebagai Panitera Pengganti
Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pasal 33
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Muda Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara,
seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a.
syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, huruf b, huruf c,
dan huruf d;
b.
berpengalaman sekurang-kurangnya tiga tahun sebagai Panitera Pengganti
Penpdilan Tinggi Tata Usaha Negara atau empat tahun sebagai Panitera Muda
atau delapan tahun sebagai Panitera Pengganti Pengadilan Tata Usaha Negara,
atau menjabat sebagai Wakil Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pasal 34
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti Pengadilan Tata Usaha Negara,
seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a.
syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, huruf b, huruf c,
dan huruf d;
b.
berpengalaman sekurang-kurangnya lima tahun sebagai pegawai negeri pada
Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pasal 35
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara, seorang, calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a.
syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, huruf b, dan huruf
d;
b.
berpengalaman sekurang-kurangnya lima tahun sebagai Panitera Pengganti
Pengadilan Tata Usaha Negara atau sepuluh tahun sebagai pegawai negeri
pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Pasal 36
(1)
Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undang-undang, Panitera tidak
boleh merangkap menjadi wali, pengampu, dan pejabat yang berkairan dengan
perkara yang di dalamnya ia bertindak sebagai Panitera.
(2)
Panitera tidak boleh merangkap menjadi penasihat hukum.
(3)
Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Panitera selain jabatan sebagaimana
dimaksud dalam rayat (1), dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri
Kehakiman berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 37
Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti diangkat dari
diberhentikan dari jabatannya oleh Menteri Kehakiman.
Pasal 38
Sebelum memangku jabatannya, Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera
Pengganti diambil sumpah atau janjinya menurut agama atau kepercayaannya oleh
Ketua Pengadilan yang bersangkutan; bunyi sumpah atau janji itu adalah sebagai
berikut:
"Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya, untuk memperoleh
jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara
apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapa pun".
"Saya bersumpah/belanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
dalam jabatan ini, tidak sekali-sekali akan menerima langsung atau tidak langsung dari
siapa pun juga suatu janji atau pemberian".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan
serta mengamalkan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, dasar negara, dan
ideologi nasional; Undang-Undang Dasar 1945, dan segala undang-undang serta
peraturan lain yang berlaku bagi Negara Republik Indonesia".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini
dengan jujur, saksama dan dengan tidak membedakan orang dan akan berlaku dalam
melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, seperti layaknya bagi
seorang Panitera/Wakil Panitera/Panitera Muda/Panitera Pengganti yang berbudi baik
dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan".
Pasal 39
Tugas serta tanggung jawab, susunan organisasi, dan tata kerja keparliteraan
Pengadilan diatur lebih lanjut oleh Mahkamah Agung.
Bagian Ketiga
Sekretaris
Pasal 40
Pada setiap Pengadilan ditetapkan adanya sekretariat yang dipimpin oleh seorang
Sekretaris dan dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris.
Pasal 41
Jabatan Sekretaris Pengadilan dirangkap oleh Panitera.
Pasal 42
Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Sekretaris Pengadilan Tata Usaha Negara, seorang
calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a.
warga negara Indonesia;
b.
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c.
setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
d.
serendah-rendahnya berijazah sadana muda hukum atau sarjana muda
administrasi;
e.
berpengalaman di bidang administrasi peradilan.
Pasal 43
Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Sekretaris Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara,
seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a.
syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 huruf a, huruf b, huruf c,
dan huruf e;
b.
berijazah sadana hukum atau sarjana administrasi.
Pasal 44
Wakil Sekretaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Kehakiman.
Pasal 45
Sebelum memangku jabatannya, Sekretaris, Wakil Sekretaris diambil sumpah atau
janjinya menurut agama atau kepercayaannya oleh Ketua Pengadilan yang
bersangkutan; bunyi sumpah atau janji itu adalah sebagai berikut Saya
bersumpah/berjanji :
"bahwa saya, untuk diangkat menjadi Sekretaris/Wakil Sekretaris, akan setia dan taat
sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, negara, dan pemerintah".
"bahwa saya akan menaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada saya dengan penuh
pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab."
"bahwa saya akan senantiasa menjunjung tinggi kehormatan negara, pemerintah, dan
martabat Sekretaris/Wakil Sekretaris, serta akan senantiasa mengutamakan
kepentingan negara daripada kepentingan sendiri, seseorang atau golongan".
"bahwa saya akan memegang rahasia sesuatu yang menurut sifatnya atau menurut
perintah harus saya rahasiakan".
"bahwa saya akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk
kepentingan negara".
Pasal 46
(1)
Sekretaris Pengadilan bertugas menyelenggarakan administrasi umum
Pengadilan.
(2)
Tugas serta tanggung jawab, susanan organisasi, dan tata kerja sekretariat
diatur lebih lanjut oleh Menteri Kehakiman.
BAB III
KEKUASAAN PENGADILAN
Pasal 47
Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
sengketa Tata Usaha Negara.
Pasal 48
(1)
Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang oleh
atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara
administratif sengketa Tata Usaha Negara tertentu, maka batal atau tidak sah,
dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/administratif yang tersedia.
(2)
Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa
Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya
administratif yang bersangkutan telah digunakan.
Pasal 49
Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata
Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan :
a.
dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan
luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
b.
dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 50
Pengadilan Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara di tingkat pertama.
Pasal 51
(1)
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa dan
memutus sengketa Tata Usaha Negara di tingkat banding.
(2)
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara juga bertugas dan berwenang memeriksa
dan memutus di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili
antara Pengadilan Tata Usaha Negara di dalam daerah hukumnya.
(3)
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Ngara bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan di tingkat pertama sengketa Tata Usaha Negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48.
(4)
Terhadap putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) dapat diajukan permohonan kasasi.
Pasal 52
(1)
Ketua Pengadilan melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan tingkah
laku Hakim, Panitera, dan Sekretaris di daerah hukumnya.
(2)
Selain tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Ketua Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara di daerah hukumnya melakukan pengawasan terhadap
jalannya peradilan di tingkat Pengadilan Tata Usaha Negara dan menjaga agar
peradilan diselenggarakan dengan saksama dan sewajarnya.
(3)
Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) Ketua Pengadilan dapat memberikan petunjuk, teguran, dan peringatan
yang dipandang perlu.
(4)
Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) tidak
boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksaa dan memutus sengketa
Tata Usaha Negara.
BAB IV
HUKUM ACARA
Bagian Pertama
Gugatan
Pasal 53
(1)
Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan
oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis
kepada Pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha
Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau
tanpa disertai tuntutan gati rugi dan/atau rehabilitasi.
(2)
Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) adalah :
a.
Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b.
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan
keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah menggunakan
wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang
tersebut;
c.
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan atau
tidak mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan
keputsan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak
pengambilan keputusan tersebut.
Pasal 54
(1)
Gugatan sengketa Tata Usaha Negara diajukan kepada Pengadilan yang
berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat.
(2)
Apabila tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan
berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum Pengadilan, gugatan diajukan
kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah
satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
(3)
Dalam hal tempat kedudukan tergugat tidak berada dalam daerah hukum
Pengadilan tempat kediaman penggugat, maka gugatan dapat diajukan ke
Pengadilan yang daerah hukummnya meliputi tempat kediaman penggugat untuk
selanjutnya diteruskan kepada Pengadilan yang bersangkutan.
(4)
Dalam hal-hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa Tata Usaha Negara yang
bersangkutan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah, gugatan dapat diajukan
kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman penggugat.
(5)
Apabila penggugat dan tergugat berkedudukan atau berada di luar negeri,
gugatan diajukan kepada Pengadilan di Jakarta.
(6)
Apabila tergugat berkedudukan di dalam negeri dan penggugat di luar negeri,
gugatan diajukan kepada Pengadilan di tempat kedudukan tergugat.
Pasal 55
Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung
sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara.
Pasal 56
(1)
Gugatan harus memuat :
a.
nama, kewarganegaraan, tempat tinggal, dan pekerjaan penggugat, atau
kuasanya;
b.
nama, jabatan, dan tempat kedudukan tergugat;
c.
dasar gugatan dan hal yang diminta untuk diputuskan oleh Pengadilan.
(2)
Apabila gugatan dibuat dan ditandatangani oleh seorang kuasa penggugat,
maka gugatan harus disertai surat kuasa yang sah.
(3)
Gugatan sedapat mungkin juga disertai Keputusan Tata Usaha Negara. yang
disengketakan oleh penggugat.
Pasal 57
(1)
Para pihak yang bersengketa masing-masing dapat didampingi atau diwakili oleh
seorang atau beberapa orang kuasa.
(2)
Pemberian kuasa dapat dilakukan dengan surat kuasa khusus atau dapat
dilakukan secara lisan di persidangan.
(3)
Surat kuasa yang dibuat di luar negeri bentuknya harus memenuhi persyaratan
di negara yang bersangkutan dan diketahui oleh Perwakilan Republik Indonesia
di negara tersebut, serta kemudian diterjemaahkan ke dalam bahasa Indonesia
oleh penerjemah resmi.
Pasal 58
Apabila dipandang perlu Hakim berwenang memerintahkan kedua belah pihak yang
bersengketa datang menghadap sendiri ke persidangan, sekalipun sudah diwakili oleh
seorang kuasa.
Pasal 59
(1)
Untuk mengajukan gugatan, penggugat membayar uang muka biaya perkara,
yang besarnya ditaksir oleh Panitera Pengadilan.
(2)
Setelah penggugat membayar uang muka biaya perkara, gugatan dicatat dalam
daftar perkara oleh Panitera Pengadilan.
(3)
Selambat-lambatnya dalam jangka waktu tiga puluh hari sesudah gugatan
dicatat, Hakim menentukan hari, jam, dan tempat persidangan, dan menyuruh
memanggil kedua belah pihak untuk hadir pada waktu dan tempat yang
ditentukan.
(4)
Surat panggilan kepada tergugat disertai sehelai salinan gugatan dengan
pemberitahuan bahwa gugatan itu dapat dijawab dengan tertulis.
Pasal 60
(1)
Penggugat dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan untuk
bersengeketa dengan cuma-cuma.
(2)
Permohonan diajukan pada waktu penggugat mengajukan gugatannya disertai
dengan surat keterangan tidak mampu dari kepala desa atau lurah di tempat
kediaman pemohon.
(3)
Dalam keterangan tersebut harus dinyatkan bahwa pemohon itu betul-betul tidak
mampu membayar biaya perkara.
Pasal 61
(1)
Permohonan gebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 harus diperiksa dan
ditetapkan oleh Pengadilan sebelum pokok sengketa diperiksa.
(2)
Penetapan ini diambil di tingkat pertama dan terakhir.
(3)
Penetapan Pengadilan yang telah mengabulkan permohonan penggugat untuk
bersengketa dengan cuma-cuma di tingkat pertama, juga berlaku di tingkat
banding dan kasasi.
Pasal 62
(1)
Dalam rapat permusyawaratan, Ketua Pengadilan berwenang memutuskan
dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan
bahwa gugatan yang diajukan itu dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar,
dalam hal :
a.
pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang
Pengadilan;
b.
syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 tidak
dipenuhi oleh penggugat sekalipun ia telah diberi tahu dan
diperringatkan;
c.
gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak;
d.
apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh
Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat;
e.
gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya.
(2)
a.
Penetapan sebagimana dimaksud dalam ayat (1) diucapkan dalam rapat
permusyawaratan sebelum hari persidangan ditentukan dengan memanggil
kedua belah pihak untuk mendengarkannya;
b.
Pemanggilan kedua belah pihak dilakukan dengan surat tercatat oleh
Panitera Pengadilan atas perintah Ketua Pengadilan.
(3)
a.
Terhadap penetapan sebgaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
diajukan perlawanan kepada Pengadilan dalam tenggang waktu empat
belas hari setelah diucapkan;
b.
Perlawanan tersebut diajukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 56.
(4)
Perlawanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diperiksa dan diputus oleh
Pengadilan dengan acara singkat.
(5)
Dalam hal perlawanan tersebut dibenarkan oleh Pengadilan, maka penetapan
sebgaimana dimaksud dalmn ayat (1) gugur demi hukum dan pokok gugatan
akan diperiksa, diputus dan diselesaikan menurut acara biasa.
(6)
Terhadap putusan mengenai perlawanan itu tidak dapat digunakan upaya
hukum.
Pasal 63
(1)
Sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai, Hakim wajib mengadakan
pemeriksaan persiapan untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas.
(2)
Dalam pemeriksaan persiapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Hakim:
a.
wajib memberi nasihar kepada penggugat untuk memperbaiki gugatan
dan melengkapinya dengan data yang diperlukan dalam jangka waktu
tiga puluh hari;
b.
dapat meminta penjelasan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara yang bersangkutan.
(3)
Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a
penggugat belum menyempurnakan gugatan, maka Hakim menyatakan dengan
putusan bahwa gugatan tidak dapat diterima.
(4).
Terhadap putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak dapat digunakan
upaya hukum, tetapi dapat diajukan gugatan baru.
Pasal 64
(1)
Dalam menentukan hari sidang, Hakim harus mempertimbangkan jauh dekatnya
tempat tinggal kedua belah pihak dari tempat persidangan.
(2)
Jangka waktu antara pemanggilan dan hari sidang tidak boleh kurang dari enam
hari, kecuali dalam hal sengketa tersebut harus diperiksa dengan acara cepat
sebagaimana diatur dalam Bagian Kedua Paragraf 2.
Pasal 65
Panggilan terhadap pihak yang bersangkutan dianggap sah, apabila masing-masing
telah menerima surat panggilan yang dikirimkan dengan surat tercatat.
Pasal 66
(1)
Dalam hal salah satu pihak berkedudukan atau berada di luar wilayah Republik
Indonesia, Ketua Pengadilan yang bersangkutan melakukan pemanggilan
dengan cara meneruskan surat penetapan hari sidang beserta salinan gugatan
tersebut kepada Departemen Luar Negeri Republik Indonesia.
(2)
Departemen Luar Negeri segera menyampaikan surat penetapan hari sidang
beserta salinan gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melalui
Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri dalain wilayah tempat yang
bersangkutan berkedudukan atau berada.
(3)
Petugas Perwakilan Republik Indonesia dalam jangka waktu tujuh hari sejak
dilakukan pemanggilan tersebut, wajib memberi laporan kepada Pengadilan
yang bersangkutan.
Pasal 67
(1)
Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya Keputusan Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara serta tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara yang digugat.
(2)
Penggugat dapat mengajukan permohonan agar pelaksanaan Keputusan Tata
Usaha Negara itu ditunda selama pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara
sedang berjalan, sampai ada putusan Pengadilan yang memperoleh kekuatan
hukum tetap.
(3)
Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat diajukan sekaligus
dalam gugatan dan dapat diputus terlebih dahulu dari pokok sengketanya.
(4)
Permohonan penundaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) :
a.
dapat dikabulkan hanya apabila terdapat keadaan yang sangat
mendesak yang mengakibatkan kepentingan penggugat sangat dirugikan
jika Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu tetap dilaksanakan;
b.
tidak dapat dikabulkan apabila kepentingan umum dalam rangka
pembangunan mengharuskan dilaksanakannya keputusan tersebut.
Bagian Kedua
Pemeriksaan di Tingkat Pertama
Paragraf 1
Pemeriksaan Dengan Acara Biasa
Pasal 68
(1)
Pengadilan memeriksa dan memutus sengketa Tata Usaha Negara dengan tiga
orang Hakim.
(2)
Pengadilan bersidang pada hari yang ditentukan dalam surat panggilan.
(3)
Pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara dalam persidangan dipimpin oleh
Hakim Ketua Sidang.
(4)
Hakim Ketua Sidang wajib menjaga supaya tata tertib dalam persidangan tetap
ditaati setiap orang dan segala perintahnya dilaksanakan dengan baik.
Pasal 69
(1)
Dalam ruang sidang setiap orang wajib menunjukkan sikap, perbuatan, tingkah
laku, dan ucapan yang menjungjung tinggi wibawa, martabat, dan kehormatan
Pengadilan dengan menaati tata tertib persidangan.
(2)
Setiap orang yang tidak menaati tata tertib persidangan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), setelah mendapat peringatan dari dan atas perintah Hakim Ketua
Sidang, dikeluarkan dari ruang sidang.
(3)
Tindakan Hakim Ketua Sidang terhadap pelanggaran tata tertib sebagaimana
ditnaksud dalam ayat (2), tidak mengurangi kemungkinan dflakukan penuntutan,
jika pelanggaran itu merupakan tindak pidana.
Pasal 70
(1)
Untuk keperluan pemeriksaan, Hakiin Ketua Sidang membuka sidang dan
menyatakannya terbuka uuntuk umum.
(2)
Apabila Majehs Hakim memandang bahwa sengketa yang disidangkan
menyangkut ketertiban umum atau keselamatan negara, persidangan dapat
dinyatakan tertutup untuk umum.
(3)
Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
menyebabkan batalnya putusan demi hukum.
Pasal 71
(1)
Dalam hal penggugat atau kuasanya tidak hadir di persidangan pada hari
pertama dan pada hari yang ditentukan dalam panggilan yang kedua tanpa
alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, meskipun setiap kali dipanggil
dengan patut, gugatan dinyatakan gugur dan penggugat harus membayar biaya
perkara.
(2)
Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) penggugat berhak
memasukkan gugatannya sekali lagi sesudah membayar uang muka biaya
perkara.
Pasal 72
(1)
Dalam hal tergugat atau kuasanya tidak hadir di persidangan dua kali sidang
berturut-turut dan/atau tidak menanggapi gugatan tanpa alasan yang dapat
dipertanggujawabkan meskipun setiap kali telah dipanggil dengan patut, maka
Hakim Ketua Sidang dengan Surat penetapan meminta atasan tergugat
memerintahkan tergugat badir dan/atau menanggapi gugatan.
(2)
Dalam hal setelah lewat dua bulan sesudah dikirimkan dengan Surat tercatat
penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak diterima berita, baik dari
atasan tergugat maupun dari tergugat, maka Hakim Ketua Sidang menetapkan
hari sidang berikutnya dan pemeriksaan sengketa dilanjutkan menurut acara
biasa, tanpa hadirnya tergugat.
(3)
Putusan terhadap pokok gugatan dapat dijatuhkan hanya setelah pemeriksaan
mengenai segi pembuktiannya dilakukan secara tuntas.
Pasal 73
(1)
Dalam hal terdapat lebih dari seorang tergugat dan seorang atau lebih di antara
mereka atau kuasanya tidak hadir di persidangan tanpa alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan, pemeriksaan sengketa itu dapat ditunda sampai hari
sidang yang ditentukan Hakim Ketua Sidang.
(2)
Penundaan sidang itu diberitahukan kepada pihak yang hadir, sedang terhadap
pihak yang tidak hadir oleh Hakim Ketua Sidang diperintahkan untuk dipanggil
sekali lagi.
(3)
Apabila pada hari penundaan sidang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
tergugat atau kuasanya masih ada yang tidak hadir, sidang dilanjutkan tanpa
kehadirannya.
Pasal 74
(1)
Pemeriksaan sengketa dimulai dengan membacakan isi gugatan dan surat yang
memuat jawabannya oleh Hakim Ketua Sidang, dan jika tidak ada surat jawaban,
pihak tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan jawabannya.
(2)
Hakim Ketua Sidang memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak untuk
menjelaskan seperlunya hal yang diajukan oleh mereka masing-masing.
Pasal 75
(1)
Penggugat dapat mengubah alasan yang mendasari gugatan hanya sampai
dengan replik, asal disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan
kepentingan tergugat, dan hal tersebut harus saksaina oleh Hakim.
(2)
Tergugat dapat mengubah alasan yang mendasari jawabannya hanya sampai
dengan duplik, asal disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan
kepentingan penggugat dan hal tersebut harus dipertimbangkan dengan
saksama oleh Hakim.
Pasal 76
(1)
Penggugat dapat sewaktu-waktu mencabut gugatannya sebelum tergugat
memberikan jawaban.
(2)
Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan itu, pencabutan
gugatan,oleh penggugat akan dikabulkan oleh Pangadilan hanya apabila
disetujui tergugat.
Pasal 77
(1)
Eksepsi tentang kewenangan absolut Pengadilan dapat diajukan setiap waktu
selama pemeriksaan, dan meskipun tidak ada eksepsi tentang kewenangan
absolut Pengadilan apabila Hakim mengetahui hal itu, ia karena jabatannya wajib
menyatakan bahwa Pangadilan tidak berwenang mengadili sengketa yang
bersangkutan.
(2)
Eksepsi tentang kewenangan relatif Pengadilan diajukan sebelum disampaikan
jawaban atas pokok sengketa, dan eksepsi tersebut harus diputus sebelum
pokok sengketa diperiksa.
(3)
Eksepsi lain yang tidak mengenai kewenangan Pengadilan hanya dapat diputus
bersama dengan pokok sengketa.
Pasal 78
(1)
Seorang Hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat
hubungan keluarga sedarah, atau semenda sampai derajat ketiga, atau
hubungan suami atau isteri meskipun telah bercerai, dengan salah seorang
Hakim Anggota atau Panitera.
(2)
Seorang Hakim atau Panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila
terikat hubungan keluarga sedarah atau semanda sampai derajat ketiga, atau
hubungan suami atau isteri meskipun telah bercerai dengan tergugat, penggugat
atau penasihat hukum.
(3)
Hakim atau Panitera sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus
diganti, dan apabila tidak diganti atau tidak mengundurkan diri sedangkan
sengketa telah diputus, maka sengketa tersebut wajib segera diadili ulang
dengan susunan yang lain.
Pasal 79
(1)
Seorang Hakim atau Panitera wajib mengundurkan diri apabila ia berkepentingan
langsung atau tidak langsung atas suatu sengketa.
(2)
Pengunduran diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan atas
kehendak Hakim atau Panitera, atau atas permintaan salah satu atau pihak-
pihak yang bersengketa.
(3)
Apabila ada keraguan atau perbedaan pendapat mengenai hal sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) maka pejabat Pengadilan yang berwenang yang
menetapkan.
(4)
Hakim atau Panitera sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus
diganti dan apabila tidak diganti atau tidak mengundurkan diri sedangkan
sengketa telah diputus, maka sengketa tersebut wajib segera diadili ulang
dengan susunan yang lain.
Pasal 80
Demi kelancaran pemeriksaan sengketa, Hakim Ketua Sidang berhak di dalam sidang
memberikan petunjuk kepada para pihak yang bersengketa mengenai upaya hukum dan
alat bukti yang dapat digunakan oleh mereka dalam sengketa.
Pasal 81
Dengan izin Ketua Pengadilan, penggugat, tergugat, dan penasihat hukum dapat
mempelajari berkas perkara dan surat-surat resmi lainnya yang bersangkutan di
kepaniteraan dan membuat kutipan seperlunya.
Pasal 82
Para pihak yang bersangkutan dapat membuat atau menyuruh membuat salinan atau
petikan segala surat pemeriksaan perkaranya, dengan biaya sendiri setelah
memperoleh izin Ketua Pengadilan yang bersangkutan.
Pasal 83
(1)
Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan dalam
sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh Pengadilan, baik atas prakarsa
sendiri dengan mengajukan permohonan, maupun atas prakarsa Hakim, dapat
masuk dalam sengketa Tata Usaha Negara, dan bertindak sebagai :
a.
pihak yang membela haknya; atau
b.
peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa.
(2)
Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dikabulkan atau
ditolak oleh Pengadilan dengan putusan yang dicantumkan dalam berita acara
sidang.
(3)
Permohonan banding terhadap putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) tidak dapat diajukan tersendiri, tetapi harus bersama-sama
dengan permohonan banding terhadap putusan akhir dalam pokok sengketa.
Pasal 84
(1)
Apabila dalam persidangan seorang kuasa melakukan tindakan yang melampaui
batas wewenangnya, pemberi kuasa dapat mengajukan sangkalan secara
tertutis disertai tuntutan agar tindakan kuasa tersebut dinyatakan batal oleh
Pengadilan.
(2)
Apabila sangkalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikabulkan, maka
Hakim wajib menetapkan dalam putusan yang dimuat dalam berita acara sidang
bahwa tindakan kuasa itu dinyatakan batal dan selanjutnya dihapus dari berita
acara pemeriksaan.
(3)
Putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dibacakan dan/atau
diberitahukan kepada para pihak yang bersangkutan.
Pasal 85
(1)
Untuk kepentingan pemeriksaan dan apabila Hakim Ketua Sidang memandang
perlu ia dapat memerintahkan pemeriksaan terhadap surat yang dipegang oleh
Pejabat Tata Usaha Negara, atau pejabat lain yang menyimpan surat, atau
meminta penjelasan dan keterangan tentang sesuatu yang bersangkutan dengan
sengketa.
(2)
Selain hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Hakim Ketua Sidang dapat
memerintahkan pula supaya surat tersebut diperlihatkan kepada Pengadilan
dalam persidangan yang akan ditentukan untuk keperluan itu.
(3)
Apabila surat itu merupakan bagian dari sebuah daftar, sebelum diperlihatkan
oleh penyimpannya, dibuat salinan surat itu sebagai ganti yang asli selama surat
yang asli belum diterima kembali dari Pengadilan.
(4)
Jika pemeriksaan tentang benarnya suatu surat menimbulkan persangkaan
terhadap orang yang masih hidup bahwa surat itu dipalsukan olehnya, Hakim
Ketua Sidang dapat mengirimkan surat yang bersangkutan ini kepada penyidik
yang berwenang, dan pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara dapat ditunda
dahulu sampai putusan perkara pidananya dijatuhkan.
Pasal 86
(1)
atas permintaan salah satu pihak, atau karena jabatannya, Hakim Ketua Sidang
dapat memerintahkan seorang saksi untuk didengar dalam persidangan.
(2)
Apabila saksi tidak datang tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan
meskipun telah dipanggil dengan patut dan Hakim cukup mempunyai alasan
untuk menyangka bahwa saksi sengaja tidak datang, Hakim Ketua Sidang dapat
memberi perintah supaya Saki dibawa oleh polisi ke persidangan.
(3)
Seorang saksi yang tidak bertempat tinggal di daerah hukum Pengadilan yang
bersangkutan tidak diwajibkan datang di Pangadilan tersebut, tetapi pemeriksaan
saksi itu dapat diserahkan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi
tempat kediaman saksi.
Pasal 87
(1)
Saksi dipanggil ke persidangan seorang demi seorang.
(2)
Hakim Ketua Sidang menanyakan kepada saksi nama lengkap, tempat lahir,
umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kewarganegaraan, tempat tinggal, agama
atau kepercayaannya, pekerjaan, derajat hubungan keluarga, dan hubungan
kerja dengan penggugat atau tergugat.
(3)
Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji
menurut agama atau kepercayaannya.
Pasal 88
Yang tidak boleh didengar sebagai saksi adalah :
a.
Keluarga sedarah atau semenda menurut garis keturunan lurus ke atas atau ke
bawah sampai derajat ke dua dari salah satu pihak yang bersengketa;
b.
isteri atau suami salah seorang pihak yang bersengketa meskipun sudah
bercerai;
c.
anak yang belum berusia tujuh belas tahun;
d.
orang sakit ingatan.
Pasal 89
(1)
Orang yang dapat minta pengunduran diri dari kewajiban untuk memberikan
kesaksian ialah :
a.
saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan salah satu
pihak;
b.
setiap orang yang karena martabat, pekerjaan, atau jabatannya
diwajibkan merahasikan segala sesuatu yang berhubungan dengan
martabat, pekerjaan, atau jabatannya itu.
(2)
Ada atau tidak adanya dasar kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, diserahkan kepada
pertimbangan Hakim.
Pasal 90
(1)
Pertanyaan yang diajukan kepada saksi oleh salah satu pihak disampaikan
melalui Hakim Ketua Sidang.
(2)
Apabila pertanyaan tersebut menurut pertimbangan Hakim Ketua Sidang tidak
ada kaitannya dengan sengketa, pertanyaan itu ditolak.
Pasal 91
(1)
Apabila penggugat atau saksi tidak paham bahasa Indonesia, Hakim Ketua
Sidang dapat mengangkat seorang ahli alih bahasa.
(2)
Sebelum melaksanakan tugasnya ahli alih bahasa tersebut wajib mengucapkan
sumpah atau janji menurut agama atau kepercayaannya untuk mengalihkan
bahasa yang dipahami oleh penggugat atau saksi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) ke dalam bahasa Indonesia dan sebaliknya dengan sebaik-baiknya.
(3)
Orang yang menjadi saksi dalam sengketa tidak boleh ditunjuk sebagai ahli alih
bahasa dalam sengketa tersebut.
Pasal 92
(1)
Dalam hal penggugat atau saksi bisu, dan/atau tuli dan tidak dapat menulis,
Hakim Ketua Sidang dapat mengangkat orang yang pandai bergaul dengan
penggugat atau saksi sebagai juru bahasa.
(2)
Sebelum melaksanakan tugasnya juru bahasa sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama atau
kepercayaannya.
(3)
Dalam hal penggugat atau saksi bisu dan/atau tuli tetapi pandai menulis, Hakim
Ketua Sidang dapat menyuruh menuliskan pertanyaan atau teguran kepadanya,
dan menyuruh menyampaikan tulisan itu kepada penggugat atau saksi tersebut
dengan perintah agar ia menuliskan jawabannya, kemudian segala pertanyaan
dan jawaban harus dibacakan.
Pasal 93
Pejabat yang dipanggil sebagai saksi wajib datang sendiri di persidangan.
Pasal 94
(1)
Saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji dan di dengar dalam persidangan
Pengadilan dengan dihadiri oleh para pihak yang bersengketa.
(2)
Apabila yang bersengketa telah dipanggil secara patut, tetapi tidak datang tanpa
alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, maka saksi dapat di dengar
keterangannya tanpa hadirnya pihak yang bersengketa.
(3)
Dalam hal saksi yang akan didengar tidak dapat hadir di persidangan karena
halangan yang dapat dibenarkan oleh hukum, Hakim dibantu oleh Panitera
datang di tempat kediaman saksi untuk mengambil sumpah atau janjinya dan
mendengar saksi tersebut.
Pasal 95
(1)
Apabila suatu sengketa tidak dapat diselesaikan pada suatu hari persidangan,
pemeriksaan dilanjutkan pada hari persidangan berikutnya.
(2)
Lanjutan sidang harus diberitahukan kepada kedua belah pihak, dan bagi
mereka pemberitahuan ini disamakan dengan panggilan.
(3)
Dalam hal salah satu pihak yang datang pada hari persidangan pertama ternyata
tidak datang pada hari persidangan selanjutnya Hakim Ketua Sidang menyuruh
memberitahukan kepada pihak tersebut waktu, hari, dan tanggal persidangan
berikutnya.
(4)
Dalam hal pihak sebagaimana dalam ayat (3) tetap tidak hadir tanpa alasan yang
dapat dipertanggungjawabkan sekalipun ia telah diberitahu secara patut, maka
pemeriksaan dapat dilanjutkan tanpa kehadirannya.
Pasal 96
Dalam hal selama pemeriksaan sengketa ada tindakan yang harus dilakukan dan
memerlukan biaya, biaya tersebut harus dibayar dahulu oleh pihak yang mengajukan
permohonan untuk dilakukannya tindakan tersebut.
Pasal 97
(1)
Dalam hal pemeriksaan sengketa sudah diselesaikan, kedua belah pihak diberi
kesempatan untuk mengemukakan pendapat yang terakhir berupa kesimpulan
masing-masing.
(2)
Setelah kedua belah pihak mengemukakan kesimpulan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), maka Hakim Ketua Sidang menyatakan bahwa sidang ditunda
untuk memberikan kesempatan kepada Majelis Hakim bermusyawarah dalam
ruangan tertutup untuk mempertimbangkan segala sesuatu guna putusan
sengketa tersebut.
(3)
Putusan dalam musyawarah majelis yang dipimpin oleh Hakim Ketua Majelis
merupakan hasil permufakatan bulat, kecuali jika setelah diusahakan dengan
sungguh-sungguh tidak dapat dicapai permufakatan bulat, putusan diambil
dengan suara terbanyak.
(4)
Apabila musyawarah majelis sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak dapat
menghasilkan putusan, permusyawaratan ditunda sampai musyawarah majelis
berikutanya.
(5)
Apabil dalam musyawarah majelis berikutnya tidak dapat diambil suara
terbanyak, maka suara terakhir Hakim Ketua Majelis yang menentukan.
(6)
Putusan Pengadilan dapat dijatuhkan pada hari itu juga dalam sidang yang
terbuka untuk umum, atau ditunda pada hari lain yang harus diberitahukan
kepada kedua belah pihak.
(7)
Putusan Pengadilan dapat berupa :
a.
gugatan ditolak;
b.
gugatan dikabulkan;
c.
gugatan tidak diterima;
d.
gugatan gugur.
(8)
Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam putusan Pengadilan tersebut dapat
ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara.
(9)
Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) berupa :
a.
pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan; atau
b.
pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan
menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru; atau
c.
penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan didasarkan
pada Pasal 3.
(10)
Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) dapat disertai pembebanan
ganti rugi.
(11)
Dalam hal putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8)
menyangkut kepegawaian, maka di samping kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam ayat (9) dan ayat (10), dapat disertai pemberian rehabilitasi.
Paragraf 2
Pemeriksaan Dengan Acara Cepat
Pasal 98
(1)
Apabila terdapat kepentingan penggugat yang cukup mendesak yang harus
dapat disimpulkan dari alasan-alasan permohonannya, penggugat dalam
gugatannya dapat memohon kepada Pengadilan supaya pemeriksaan sengketa
dipercepat.
(2)
Ketua Pengadilan dalam jangka waktu empat belas hari setelah diterimanya
permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengeluarkan penetapan
tentang dikabulkan atau tidak dikabulkannya permohonan tersebut.
(3)
Terhadap penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat
digunakan upaya hukum.
Pasal 99
(1)
Pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan dengan Hakim Tunggal.
(2)
Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1)
dikabulkan, Ketua Pengadilan dalam jangka waktu tujuh hari setelah
dikeluarkannya penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat
(2)menentukan hari, tempat, dan waktu sidang tanpa melalui prosedur
pemeriksaan persiapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63.
(3)
Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian bagi kedua belah pihak,
masing-masing ditentukan tidak melebihi empat belas hari.
Bagian Ketiga
Pembuktian
Pasal 100
(1)
Alat bukti ialah :
a.
surat atau tulisan;
b.
keterangan ahli;
c.
keterangan saksi;
d.
pengakuan para pihak;
e.
pengetahuan Hakim.
(2)
Keadaan yang telah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan.
Pasal 101
Surat sebagai alat bukti terdiri atas tiga jenis ialah :
a.
akta otentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat
umum, yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat
surat itu dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa
atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya;
b.
akta di bawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-
pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti
tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya;
c.
surat-surat lainnya yang bukan akta.
Pasal 102
(1)
Keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam
persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan
pengetahuannya.
(2)
Seseorang yang tidak boleh didengar sebagai saksi berdasarkan Pasal 88 tidak
boleh memberikan keterangan ahli.
Pasal 103
(1)
Atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu pihak atau karena
jabatannya Hakim Ketua Sidang dapat menunjuk seseorang atau beberapa
orang ahli.
(2)
Seorang ahli dalam persidangan harus memberi keterangan baik dengan surat
maupun dengan lisan, yang dikuatkan dengan sumpah atau janji menurut
kebenaran sepanjang pengetahuannya yang sebaik-baiknya.
Pasal 104
Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan itu berkenaan dengan
hal yang dialami, dilihat, atau didengar oleh saksi sendiri.
Pasal 105
Pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali kecuali berdasarkan alasan yang kuat
dan dapat diterima oleh Hakim.
Pasal 106
Pengetahuan Hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya.
Pasal 107
Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian
pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat
bukti berdasarkan keyakinan Hakim.
Bagian Keempat
Putusan Pengadilan
Pasal 108
(1)
Putusan Pengadilan harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
(2)
Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak hadir pada waktu putusan
Pengadilan diucapkan, atas perintah Hakim Ketua Sidang salinan putusan itu
disampaikan dengan surat tercatat kepada yang bersangkutan.
(3)
Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berakibat
putusan Pengadilan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 109
(1)
Putusan Pengadilan harus memuat :
a.
Kepala putusan yang berbunyi : "DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA";
b.
nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman, atau tempat
kedudukan para pihak yang bersengketa;
c.
ringkasan gugatan dan jawaban tergugat yang jelas;
d.
pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang
terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa;
e.
alasan hukum yang menjadi dasar putusan;
f.
amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara;
g.
hari, tanggal putusan, nama Hakim yang memutus, nama Panitera, serta
keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak.
(2)
Tidak dipenuhinya salah satu ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dapat menyebabkan batalnya putusan Pengadilan.
(3)
Selambat-lambatnya tiga puluh hari sesudah putusan Pengadilan diucapkan,
putusan itu harus ditandatangani oleh Hakim yang memutus dan Panitera yang
turut bersidang.
(4)
Apabila Hakim Ketua Majelis atau dalam hal pemeriksaan dengan acara cepat
Hakim Ketua Sidang berhalangan menandatangani, maka putusan Pengadilan
ditandatangani oleh Ketua Pengadilan dengan menyatakan berhalangannya
Hakim Ketua Majelis atau Hakim Ketua Sidang tersebut.
(5)
Apabila Hakim Anggota Majelis berhalangan menandatangani, maka putusan
Pangadilan ditandatangani oleh Hakim Ketua Majelis dengan menyatakan
berhalangannya Hakim Anggota Majelis tersebut.
Pasal 110
Pihak yang dikalahkan untuk seluruhnya atau sebagian dihukum membayar biaya
perkara.
Pasal 111
Yang termasuk dalam biaya perkara ialah :
a.
biaya kepaniteraan dan biaya meterai;
b.
biaya saksi, ahli, dan alih bahasa dengan catatan bahwa pihak yang meminta
pemeriksaan lebih dari lima orang saksi harus membayar biaya untuk saksi yang
lebih itu meskipun pihak tersebut dimenangkan;
c.
biaya pemeriksaan di tempat lain dari ruangan sidang dan biaya lain yang
diperlukan bagi pemutusan sengketa atas perintah Hakim Ketua Sidang.
Pasal 112
Jumlah baiya perkara yang harus dibayar oleh penggugat dan/atau tergugat disebut
dalam amar putusan akhir Pengadilan.
Pasal 113
(1)
Putusan Pengadilan yang bukan putusan akhir meskipun diucapkan dalam
sidang, tidak dibuat sebagai putusan tersendiri melainkan hanya dicantumkan
dalam berita acara sidang.
(2)
Pihak yang berkepentingan langsung dengan putusan Pengadilan dapat
meminta supaya diberikan kepadanya salinan resmi putusan itu dengan
membayar biaya salinan.
Pasal 114
(1)
Pada setiap pemeriksaan, Panitera harus membuat berita acara sidang yang
memuat segala sesuatu yang terjadi dalam sidang.
(2)
Berita acara sidang ditandatangani oleh Hakim Ketua Sidang dan Panitera;
apabila salah seorang dari mereka berhalangan, maka hal itu dinyatakan dalam
berita acara tersebut.
(3)
Apabila Hakim Ketua Sidang dan panitera berhalangan menandatangani, maka
berita acara ditandatangani oleh Ketua Pengadilan dengan menyatakan
berhalangannya Hakim Ketua Sidang dan Panitera tersebut.
Bagian Kelima Pelaksanaan Putusan Pengadilan
Pasal 115
Hanya putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang dapat
dilaksanakan.
Pasal 116
(1)
Salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan
setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat
pertama selambat-lambatnya dalam waktu empat belas hari.
(2)
Dalam hal empat bulan setelah putusan Pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikirimkan
tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal
97 ayat (9) huruf a, maka Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu
tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
(3)
Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf c, dan kemudian setelah
tiga bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakannya, maka penggugat
mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), agar Pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan
Pengadilan tersebut.
(4)
Jika tergugat masih tetap tidak mau melaksanakannya, Ketua Pengadilan
mengajukan hal ini kepada instansi atasannya menurut jenjang jabatan.
(5)
Instansi atasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), dalam waktu dua bulan
setelah menerima pemberitahuan dari Ketua Pengadilan harus sudah
memerintahkan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) melaksanakan
putusan Pengadilan tersebut.
(6)
Dalam hal instansi atasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), tidak
mengindahkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), maka Ketua
Pengadilan mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan
pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan
putusan Pengadilan tersebut.
Pasal 117
(1)
Sepanjang mengenai kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat
(11) apabila tergugat tidak dapat atau tidak dapat dengan sempurna
malaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap disebabkan oleh berubahnya keadaan yang terjadi setelah putusan
Pengadilan dijatuhkan dan/atau memperoleh kekautan hukum tetap, ia wajib
memberitahukan hal itu kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 116 ayat (1) dan penggugat.
(2)
Dalam waktu tiga puluh hari setelah menerima pemberitahuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) penggugat dapat mengajukan permohonan kepada
Ketua Pengadilan yang telah mengirimkan putusan. Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut agar tergugat dibebani kewajiban
membayar sejumlah uang atau kompensasi lain yang diinginkannya.
(3)
Ketua Pengadilan setelah menerima permohonan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) memerintahkan memanggil kedua belah pihak untuk mengusahakan
tercapainya persetujuan tentang jumlah uang atau kompensasi lain yang harus
dibebankan kepada tergugat.
(4)
Apabila setelah diusahakan untuk mencapai persetujuan tetatapi tidak dapat
diperoleh kata sepakat mengenai jumlah uang atau kompensasi lain tersebut,
Ketua Pengadilan dengan penetapan yang disertai pertimbangan yang cukup
menentukan jumlah uang atau kompensasi lain yang dimaksud.
(5)
Penetapan Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dapat
diajukan baik oleh penggugat maupun oleh tergugat kepada Mahkamah Agung
untuk ditetapkan kembali.
(6)
Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), wajib ditaati
kedua belah pihak.
Pasal 118
(1)
Dalam hal putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1)
berisi kewajiban bagi tergugat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9),
ayat (10), dan ayat (11), pihak ketiga yang belum pernah ikut serta atau
diikutsertakan selama waktu pemeriksaan sengketa yang bersangkutan menurut
ketentuan Pasal 83 dan ia khawatir kepentingannya akan dirugikan dengan
dilaksanakannya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap itu
dapat mengajukan gugatan perlawanan terhadap pelaksanaan putusan
Pengadilan tersebut kepada Pengadilan yang mengadili sengketa itu pada
tingkat pertama.
(2)
Gugatan perlawanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hanya dapat
diajukan pada saat sebelum putusan Pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap itu dilaksanakan dengan memuat alasan-alasan tentang
permohonannya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
56; terhadap permohonan perlawanan itu berlaku ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 62 dan Pasal 63.
(3)
Gugatan perlawanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dengan
sendirinya mengakibatkan ditundanya pelaksanaan putusan Pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut.
Pasal 119
Ketua Pengadilan wajib mengawasi pelaksanaan putusan Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Bagian Keenam
Ganti Rugi
Pasal 120
(1)
Salinan putusan Pengadilan yang berisi kewajiban membayar ganti rugi
dikirimkan kepada penggugat dan tergugat dalam waktu tiga hari setelah
putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
(2)
Salinan putusan Pengadilan yang berisi kewajiban membayar ganti rugi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dikirimkan pula oleh Pengadilan kepada
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang dibebani kewajiban membayar
ganti rugi tersebut dalam waktu tiga hari setelah putusan Pengadilan
memperoleh kekuatan hukum tetap.
(3)
Besarnya ganti rugi beserta tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 97 ayat (10) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Ketujuh
Rehabilitasi
Pasal 121
(1)
Dalam hal gugatan yang berkaitan dengan bidang kepegawaian dikabulkan
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (11),
salinan putusan Pengadilan yang berisi kewajiban tentang rehabilitasi dikirimkan
kepada penggugat dan tergugat dalam waktu tiga hari setelah putusan itu
memperoleh kekuatan hukum tetap.
(2)
Salinan putusan Pengadilan yang berisi kewajiban tentang rehabilitasi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dikirimkan pula oleh Pengadilan kepada
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang dibebani kewajiban melaksanakan
rehabilitasi tersebut dalam waktu tiga hari setelah putusan itu memperoleh
kekuatan hukum tetap.
Bagian Kedelapan
Pemeriksaan di Tingkat Banding
Pasal 122
Terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat dimintakan pemeriksaan
banding oleh penggugat atau tergugat kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Pasal 123
(1)
Permohonan pemeriksaan banding diajukan secara tertulis oleh pemohon atau
kuasanya yang khusus dikuasakan untuk itu kepada Pengadilan Tata Usaha
Negara yang menjatuhkan putusan tersebut dalam tenggang waktu empat belas
hari setelah putusan Pengadilan itu diberitahukan kepadanya secara sah.
(2)
Permohonan pemeriksaan banding disertai pembayaran uang muka biaya
perkara banding lebih dahulu, yang besarnya ditaksir oleh Panitera.
Pasal 124
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang bukan putusan akhir hanya dapat
dimohonkan pemeriksaan banding bersama-sama dengan putusan akhir.
Pasal 125
(1)
Permohonan pemeriksaan banding dicatat oleh Panitera dalam daftar perkara.
(2)
Panitera memberitahukan hal tersebut kepada pihak terbanding.
Pasal 126
(1)
Selambat-lambatnya tiga puluh hari sesudah permohonan pemeriksaan banding
dicatat, Panitera memberitahukan kepada kedua belah pihakbahwa mereka
dapat melihat berkas perkara di kantor Pengadilan Tata Usaha Negara dalam
tenggang waktu tiga puluh hari setelah mereka menerima pemberitahuan
tersebut.
(2)
Salinan putusan, berita acara, dan surat lain yang bersangkutan harus dikirimkan
kepada Panitera Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara selambat-lambatnya
enam puluh hari sesudah pernyataan permohonan pemeriksaan banding.
(3)
Para pihak dapat menyerahkan memori banding dan/atau kontra memori
banding serta surat keterangan dan bukti kepada Panitera Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara dengan ketentuan bahwa salinan memori dan/atau kontra
memori diberikan kepada pihak lainnya dengan perantaraan Penitera
Pengadilan.
Pasal 127
(1)
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara memeriksa dan memutus perkara
banding dengan sekurang-kurangnya tiga orang Hakim.
(2)
Apabila Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berpendapat bahwa pemeriksaan
Pengadilan Tata Usaha Negara kurang lengkap, maka Pengadilan Tinggi
tersebut dapat mengadakan sidang sendiri untuk mengadakan pemeriksaan
tambahan atau memerintahkan Pengadilan Tata Usaha Negara yang
bersangkutan melaksanakan pemeriksaan tambahan itu.
(3)
Terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang menyatakan tidak
berwenang memeriksa perkara yang diajukan kepadanya, sedang Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara berpendapat lain, Pengadilan Tinggi tersebut dapat
memeriksa dan memutus sendiri perkara itu atau memerintahkan Pengadilan
Tata Usaha Negara yang bersangkutan memeriksa dan memutusnya.
(4)
Panitera Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dalam waktu tiga puluh hari
mengirimkan salinan putusan Pengadilan Tinggi beserta surat pemeriksaan dan
surat lain kepada Pengadilan Tata Usaha Negara yang memutus dalam
pemeriksaan tingkat pertama.
Pasal 128
(1)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dan Pasal 79 berlaku juga
bagi pemeriksaan di tingkat banding.
(2)
Ketentuan tentang hubungan keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78
ayat (1) berlaku juga antara Hakim dan/atau Panitera di tingkat banding dengan
Hakim atau Panitera di tingkat pertama yang telah memeriksa dan memutus
perkara yang sama.
(3)
Apabila seorang Hakim yang memutus di tingkat pertama kemudian menjadi
Hakim pada Pengadilan Tinggi, maka Hakim tersebut dilarang memeriksa
perkara yang sama di tingkat banding.
Pasal 129
Sebelum permohonan pemeriksaan banding diputus oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara maka permohonan tersebut dapat dicabut kembali oleh pemohon, dan dalam hal
permohonan pemeriksaan banding telah dicabut, tidak dapat diajukan lagi meskipun
jangka waktu untuk mengajukan permohonan pemeriksaan banding belum lampau.
Pasal 130
Dalam hal salah satu pihak sudah menerima baik putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara, ia tidak dapat mencabut kembali pernyataan tersebut meskipun jangka waktu
untuk mengajukan permohonan pemeriksaan banding belum lampau.
Bagian Kesembilan
Pemeriksaan di Tingkat Kasasi
Pasal 131
(1)
Terhadap putusan tingkat terakhir Pengadilan dapat dimohonkan pemeriksaan
kasasi kepada Mahkamah Agung.
(2)
Acara pemeriksaan kasasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) Undang-
undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Bagian Kesepuluh
Pemeriksaan Peninjauan Kembali
Pasal 132
(1)
Terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
dapat diajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
(2)
Acara pemeriksaan peninjauan kembah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1)
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
BAB V
KETENTUAN LAIN
Pasal 133
Ketua Pengadilan mengatur pembagian tugas para hakim
Pasal 134
Ketua Pengadilan membagikan semua berkas dan/atau surat lainnya yang berhubungan
dengan sengketa yang diajukan ke Pengadilan kepada Majelis Hakim untuk
diselesaikan.
Pasal 135
(1)
Dalam hal Pengadilan memeriksa dan memutus perkara Tata Usaha Negara
tertentu yang memerlukan kealdian khusus, maka Ketua Pengadilan dapat
menunjuk seorang Hakim Ad Hoc sebagai Anggota Majelis.
(2)
Untuk dapat ditunjuk sebagai Hakim Ad Hoc seseorang harus memenuhi syarat-
syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) kecuali huruf e dan huruf
f.
(3)
Larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf c tidak berlaku
bagi Hakim Ad Hoc.
(4)
Tata cara penunjukkan Hakim Ad Hoc pada Pengadilan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur dengan peraturan Pemerintah.
Pasal 136
Ketua Pengadilan menetapkan perkara yang harus diperiksa dan diputus berdasarkan
nomor urut, tetapi apabila terdapat perkara tertentu yang menyangkut kepentingan
umum dan yang harus segera diperiksa, maka pemeriksaan perkara itu didahulukan.
Pasal 137
Panitera Pengadilan bertugas menyelenggarakan administrasi perkara dan mengatur
tugas Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti.
Pasal 138
Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti bertugas membantu
Hakim untuk mengikuti dan mencatat jalannya sidang Pengadilan.
Pasal 139
(1)
Panitera wajib membuat daftar semua perkara yang diterima di kepaniteraan.
(2)
Dalam daftar perkara tersebut setiap perkara diberi nomor urut dan dibubuhi
catatan singkat tentang isinya.
Pasal 140
Panitera membuat sarnan putusan Pengadilan menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Pasal 141
(1)
Panitera bertanggung jawab atas pengurusan berkas perkara, putusan,
dokumen, akta, buku daftar, biaya perkara, uang titipan pihak ketiga, surat-surat
berharga, barang bukti, dan surat-surat lainnya yang disimpan di kepaniteraan.
(2)
Semua daftar, catatan, risalah, berita acara, serta berkas perkara tidak boleh
dibawa ke luar ruang kerja kepaniteraan, kecuali atas izin Ketua Pengadilan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 142
(1)
Sengketa Tata Usaha Negara yang pada saat terbentuknya Pengadilan menurut
Undang-undang ini belum diputus oleh Pengadilan di lingkungan Peradilan
Umum tetap diperiksa dan diputus oleh Pengadilan di lingkungan Peradilan
Umum.
(2)
Sengketa Tata Usaha Negara yang pada saat terbentuknya Pengadilan menurut
Undang-undang ini sudah diajukan kepada Pengadilan di lingkungan Peradilan
Umum tetapi belum diperiksa, dilimpahkan kepada Pengadilan di lingkungan
Peradilan Tata Usaha Negara.
Pasal 143
(1)
Untuk pertama kali pada saat Undang-undang ini mulai berlaku Menteri
Kehakiman setelah mendengan pendapat Ketua Mahkamah Augng mengatur
pengisian jabatan Ketua, Wakil Ketua, Hakim, Panitera, Wakil Panitera, Panitera
Muda, Panitera Pengganti, dan Wakil Sekretaris pada Pengadilan di lingkungan
Peradilan Tata Usaha Negara.
(2)
Pengangkatan dalam jabatan Ketua, Wakil Ketua, Hakim, Panitera, Wakil
Panitera, Panitera Muda, Panitera Pengganti, dan Wakil Sekretaris sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dapat menyimpang dari persyaratan yang ditentukan
dalam Undang-undang ini.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 144
Undang-undang ini dapat disebut "Undang-undang Peradilan Administrasi Negara".
Pasal 145
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan dan penerapannya diatur
dengan Peraturan Pemerintah selambat-lambatnya lima tahun sejak Undang-undang ini
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 1986
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 1986
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd
SUDHARMONO, S.H.
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1986
NOMOR 77
Komentar :
Posting Komentar