Selasa, 17 Juni 2008
- Latar Belakang Masalah
Ketika para pendiri Bangsa (The founding fathers) mendesain model Negara Indonesia setelah merdeka lebih mengedepankan perdebatan mengenai dasar Negara, bentuk Negara (kesatuan atau federal), bentuk pemerintahan (Kerajaan atau Republik) dan ide/ cita Negara (individualistik, kolektivistik, atau totalitas integralistik) yang sedikit terkait dengan Negara hukum dan pemerintahan yang demokratis konstitusional khususnya mengenai perlu tidaknya Hak Asasi Manusia (HAM) masuk dalam konstitusi, selain itu the founding fathers sebagian besar terlalu di semangati oleh obsesi sebuah bangunan Negara yang berciri khas Indonesia sehingga terlalu mengidealisasikan prinsip kekeluargaan, demokrasi desa, asas keserasian, keselarasan dan keseimbangan demi politik pengintegrasian ketimbang politik pembebasan melawan absolutisme kekuasaan sebagai corak paham konstitusionalisme, yang akibatnya bangsa ini tidak pernah curiga terhadap kemungkinan penyalahgunaan kewenangan,[1] yang oleh Lord Acton disebut sebagai hukum batu �power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely� (Kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang absolut akan korup secara absolut pula). Ketidakjelasan UUD 1945 dalam menyatakan Negara Indonesia sebagai Negara hukum juga tercermin dalam pengkaidahan prinsip- prinsip yang harus melekat dalam suatu Negara hukum, juga dalam dimensi penerapan konstitusi sebagai aturan main dalam bernegara, baik pemerintahan Presiden Soekarno (1945-1967) maupun Presiden Soeharto (1967-1998) Indonesia telah terjebak sebagai Negara kekuasaan (machtsstaat) ketimbang Negara hukum (rechtsstaat), Interprestasi konsitusi sesuai dengan selera pribadi sehingga legitimasi kekuasaan semakin kuat dan melemahkan sendi-sendi peradilan (hukum), rezim Presiden Suharto yang berkuasa selama 32 tahun pun akhirnya harus mengakui kuasa rakyat, gerakan reformasi rakyat berkobar seiring tuntutan reformasi konstitusi, gerakan reformasi telah membawa nuansa baru dalam dinamika politik ketatanegaraan Indonesia, orde baru yang begitu mensakralkan UUD 1945 telah mengalami desakralisasi, sakralisasi UUD 1945 berakhir setelah aspirasi rakyat Indonesia (representation in ideas) kemudian dilanjutkan oleh wakil rakyat (representation in presence) di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengamandemen UUD 1945. Selain itu UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan di bawahnya tidak menjamin kemandirian badan peradilan, termasuk didalamnya Peradilan Tata Usaha Negara sehingga wajar kalau lembaga judikatif seolah-olah menjadi lembaga penghukum musuh-musuh politik penguasa dan warga negara yang menjadi pembangkang dan melawan ketidakadilan penguasa dan bisa dikatakan bahwa lembaga judikatif adalah lembaga yang memberikan legitimasi hukum ketidakadilan pemerintah. Kondisi ini merupakan suatu fakta hukum yang memprihatinkan bahwa keberadaan lembaga yudikatif, khusunya Peradilan Tata usaha Negara belum dapat membawa keadilan bagi masyarakat dalam lingkup administratif pemerintahan.
Setelah Amandemen UUD 1945, eksistensi Negara hukum tertuang jelas dalam konstitusi, salah satu unsur negara hukum adalah berfungsinya lembaga yudikatif yang independent and impartial judiciary, lembaga yudikatif tersebut merupakan tempat mencari penegakan kebenaran dan keadilan (to enforce the truth and justice) apabila timbul sengketa atau pelanggaran hukum, baik dalam kerangka penyelesaian perkara pidana, perdata, tata Negara maupun tata usaha Negara, dalam Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen, Pasal 24 tentang kekuasaan kehakiman menyebutkan bahwa Peradilan Tata Usaha Negara merupakan bagian dari kekusaan kehakiman yang merdeka dan secara heirarki berada di bawah Mahkamah Agung yang bertujuan untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dari sudut sejarah ide dibentuknya Peradilan Administrasi (Peradilan Tata Usaha Negara) untuk menyelesaikan sengketa antara pemerintah dengan warga negaranya, dan pembentukan lembaga tersebut bertujuan mengkontrol secara yuridis (judicial kontrol) tindakan pemerintahan yang dinilai melanggar ketentuan administrasi (mal administrasi) ataupun perbuatan yang bertentangan dengan hukum (abuse of power).
Eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara dalam Konstitusi maupun peraturan perundang-undangan yang khusus yakni, Undang-Undang No.5 Tahun 1986 Tentang PTUN yang kemudian dirubah dengan Undang-Undang No.9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara dirasa sudah memenuhi syarat untuk menjadikan lembaga PTUN yang professional guna menjalankan fungsinya melalui kontrol yudisialnya, namun perlu disadari bahwa das sollen seringkali bertentangan dengan das sein, salah satu contohnya terkait dengan eksekusi putusan, Pengadilan Tata Usaha Negara bisa dikatakan belum professional dan belum berhasil menjalankan fungsinya, apalagi berjalannya fungsi PTUN dapat dilihat dari putusan yang berkeadilan serta pengaruh dari putusan tersebut. Sebelum diundangkannya UU No 9 Tahun 2004 putusan PTUN sering tidak dipatuhi pejabat karena tidak adanya lembaga eksekutornya dan juga tidak ada sanksi hukumnya serta dukungan yang lemah dari prinsip-prinsip hukum administrasi negara yang menyebabkan inkonsistensi sistem PTUN dengan sistem peradilan lainnya, terutama dengan peradilan umum karena terbentur dengan asas dat de rechter niet op de stoel van het bestuur mag gaan zitten (hakim tidak boleh duduk di kursi pemerintah atau mencampuri urusan pemerintah), asas rechtmatigheid van bestuur yakni atasan tidak berhak membuat keputusan yang menjadi kewenangan bawahannya atau asas kebebasan Pejabat tak bisa dirampas. Setelah diundangkannya UU No.9 Tahun 2004 tersebut diharapkan dapat memperkuat eksistensi PTUN, namun dalam UU No 9 Tahun 2004 itu pun ternyata masih saja memunculkan pesimisme dan apatisme publik karena tidak mengatur secara rinci tahapan upaya eksekusi secara paksa yang bisa dilakukan atas keputusan PTUN serta tidak adanya kejelasan prosedur dalam UU No.9 Tahun 2004 Pasal 116 ayat (4) yakni jika pejabat tidak bersedia melaksanakan putusan maka dapat dikenakan sanksi upaya paksa membayar sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif. Eksekusi Putusan PTUN seringkali tertunda karena adanya upaya banding, kasasi, atau peninjauan kembali (PK) sehingga memaksa majelis hakim menunda eksekusi, kalau eksekusi tidak dapat dilaksanakan, maka PTUN berwenang untuk melaporkan kepada atasan yang bersangkutan yang puncaknya dilaporkan kepada Presiden, itupun harus melalui kompromi politik yang kadang kala bertentangan dengan nurani hukum.
Dari sisi yang lain tentunya PTUN mempunyai peranan penting untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, namun bukan merupakan rahasia umum bahwa negara ini masih mendapatkan rangking teratas dalam hal korupsi, kolusi dan nepotisme. Untuk mencapai pemerintahan yang bersih bukanlah hal yang mudah dan mungkin hanya merupakan konsep ideal belaka tanpa realisasi yang jelas, usia PTUN yang tidak muda lagi dan selama Indonesia ini berdiri fungsi Peradilan Tata Usaha Negara untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih belumlah tercapai, yang menjadi pertanyaan mengapa PTUN sebagai peradilan yang mendiri belum bisa menjalankan fungsinya dan akankah fungsinya tersebut hanya menjadi pemanis bibir semata yang menodai panji-panji kedaulatan hukum dan jiwa kedaulatan rakyat yang terangkum dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Peradilan Tata Usaha Negara melaksanakan fungsinya menurut Undang-Undang No 5 Tahun 1986 dan Undang-Undang No 9 Tahun 2004 untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih?
2. Faktor-faktor yang menjadi kendala Peradilan Tata Usaha Negara untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih?
3. Bagaimana langkah-langkah yang dilakukan oleh Peradilan Tata Usaha Negara untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih?
C. Tujuan Penelitian
Melakukan pengkajian secara cermat dan mendalam perspektif Hukum Administrasi Negara mengenai:
1. Fungsi Peradilan Tata Usaha Negara dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih
2. Melakukan identifikasi terhadap faktor-faktor yang menjadi kendala bagi Peradilan Tata Usaha Negara untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih.
3. Menentukan langkah-langkah yang dilakukan oleh Peradilan Tata Usaha Negara untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih.
D. Manfaat Penelitian.
Manfaat Teoritis
Dengan memperhatikan permasalahan dan tujuan penelitian, diharapkan penelitian ini memberikan manfaat secara akademis bagi discourses perkembangan disiplin ilmu Hukum Administrasi Negara khususnya yang berkaitan dengan fungsi Peradilan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang No.5 Tahun 1986 dan perubahannya yakni, UU No 9 Tahun 2004.
Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi Pengadilan Tata Usaha Negara secara institusional berupa pedoman praktek untuk merumuskan upaya perwujudan Peradilan Tata Usaha Negara yang berkompeten sehingga dapat menjalankan fungsinya dengan baik untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih.
E. Kajian Teori
1. Teori Pembagian dan Pemisahan Kekuasaan
Melalui bukunya �Two Treaties On Civil Government�, John Locke mengemukakan kritiknya terhadap kekuasaaan absolut raja-raja dan mendukung pembatasan kekuasaan politik terhadap raja, Locke tidak setuju dengan pemikiran Hobbes yang mau menyerahkan kekuasaan mutlak kepada raja. Bagi Locke hal ini terlalu ceroboh, Locke mendasarkan pendapatnya pada �kondisi alam manusia� dan kontrak sosial yang melahirkan Negara, alasan manusia mengadakan kontrak sosial adalah untuk memlihara hak-hak ilmiah manusia yaitu hak hidup, kemerdekaan dan hak milik (preserve their live, libertes, and possessions) yang melahirkan status politik.[2] Untuk mencapai keseimbangan dalam suatu Negara, kekuasaan Negara harus dipilah kepada tiga bagian, yaitu: kekuasaaan legislatif (legislative power); kekuasaan eksekutif (executive power) dan kekuasaan federatif (federative power).
Pikiran Locke ini kemudian dikembangkan oleh Montesquieu, dalam bukunya yang berjudul �De l�Esprit des Lois�, Montesquieu mengadakan modifikasi atas gagasan Locke dengan memisahkan kekusaan Negara kedalam tiga aspek kekusaaan, yakni: kekuasaan legislative (la puissance legislative); kekuasaan eksekutif (la puissance executive); dan kekuasaan yudikatif (la puissance de juger) yang kemudian dikenal dengan teori trias politika, dengan adanya pemisahan kekuasaan ini akan terjamin kebebasan pembuatan perundang-undangan oleh parlemen, pelaksanaan undang-undang oleh lembaga peradilan, dan pelaksanaan pekerjaan Negara sehari-hari oleh pemerintah. Kata Montesquieu: Kekuasaan perundang-undangan harus terletak pada badan perwakilan rakyat, kekuasaan untuk menjalankan undang-undang, kekuaaan untuk menjalankan undang-undang pada raja, kekuasaan pengadilan pada para hakim yang sama sekali bebas dari kekuasaan pelaksanaan. Ketiga kekuasaan tersebut menurut Montesquieu masing-masing terpisah satu sama lain, baik mengenai tugas (functie) maupun alat perlengkapan (orgaan) yang dilakukan.[3]
Pada awal abad ke-20 pandangan Montesquieu mendapatkan kritik karena dianggap tidak sesuai dengan kenyataan, reaksi terhadap ajaran Montesquieu dikemukakan oleh Finer dalam bukunya yang berjudul Handbook of Political Science, Finer menjelaskan pandangannya mengenai kekuasaan Negara yang ditinjau secara historis. Mula-mula kekusaaan Negara berpusat pada seseorang, kemudian munculah pusat-pusat kekuasaan di masyarakat yang berusaha mengambil alih sebagian keuasaan tersebut, lama-kelamaan kekusaaan tersebut mendapatkan pengakuan dan melembaga dalam lembaga legisltif, Perkembangan berikutnya kekuasaan mengadili juga dialihkan ke badan yudisial , atas dasar dorongan yang timbul di masyarakat, akhirnya kekuasaan yang berpusat tersebut menjadi sempit, sisa kekuasaan yang oleh Montesquieu hanya disebut sebagian keuasaan eksekutif ini berfungsi semata-mata melaksanakan undang-undang, atas dasar peninjauan historis ini, Finer hendak menunjukan bahwa tidak benar kekusaan eksekutif hanya melaksanakan Undang-undang.[4]
Utrecht dalam buku Hukum Adminitrasi Negara Indonesia menjelaskan dua macam keberatan terhadap teori Montesquieu, yaitu:
1. Pemisahan mutlak yang dikemukakan oleh Montesquieu mengakibatkan adanya badan kenegaraan yang padanya tidak atau tidak dapat ditempatkan pengawasan badan kenegaraan lain, sehingga terbuka kemungkinan badan kenegaraan untuk bertindak melampaui kekuasaannya. Pembagian kekuasaan memang perlu namun tidak dibanarkan terjadinya pemisahan kekuasaan secara mutlak, sehingga menutup kemungkinan untuk saling melakukan pengawasan. Kekurangan teori Montesquieu sebenarnya sudah dirasakan namun dikatakan bahwa kekurangan itu akan dapat diselesaikan sendiri dalam praktek.
2. Teori Montesquieu hanya dapat diterapkan dalam Negara yang sistem sosial ekonominya menggunakan azas laissezfaire, laissezaller, dalam sistem ini campur tangan Negara dalam sektor perekonomian dan lain lain segi kehidupan sosial tidak dibenarkan. Prinsip staatsonthouding sepenuhnya dilaksanakan; urusan �Negara dan masyarakat� sama sekali dipisahkan, dalam hukum Negara modern staatsonthouding diganti dengan staatsbemoeiienis. Di negara modern aparat administrasi Negara diserahi tugas menyelenggarakan kesejahteraan umum (bestuurzorg). Tugas penyelenggaraan kesejahteraan ini membawa konsekuensi bahwa aparat administrasi Negara harus diberi keleluasaan bertindak tidak atas dasar Undang Undang, namun dengan tanpa menyimpangi Undang Undang.[5]
Dari segi kelembagaan, prinsip kedaulatan rakyat itu biasanya diorganisasikan melalui dua pilihan cara: Pertama, melalui sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) atau pembagian kekuasaan (distribution or devision of power). Pemisahan kekuasaan bersifat horizontal dalam arti kekuasaan dipisah-pisahkan kedalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam lembaga-lembaga Negara yang sederajat dan saling mengimbangi (check and balances), sedangkan pembagian kekuasaan bersifat vertical dalam arti perwujudan kekuasan itu dibagikan vertical kebawah kepada lembaga-lembaga tinggi di bawah lembaga pemegang kedaulatan rakyat. Selama ini UUD 1945 menganut paham pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal, bukan pemisahan kekuasaan yang bersifat horizontal, kedaulatan rakyat dianggap terwujud penuh dalam wadah Majelis Permusyawatan Rakyat sebagai lembaga Negara tertinggi, disini fungsi-fungsi tertentu dibagikan sebagai tugas dan kewenangan lembaga-lembaga tinggi Negara yang ada di bawahnya, berbeda dengan UUD 1945 setelah mengalami amandemen yang menjadikan Demokrasi dan konstitusionalisme disepakati menjadi semangat kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga adanya tuntutan pemerintahan yang demokratis dari konsep Negara yang tergolong menganut ajaran pembagian kekuasaan secara vertikal (distribution of power) menuju teori pemisahan kekuasaaan yang bersifat horizontal (separation of power) yang bernuansa check and balances system, yang akhirnya disadari bahwa untuk menciptakan pemerintahan yang demokratis konstitusional. Dalam doktrin trias politika ketiga cabang kekuasaan Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif, tidak boleh melampaui batas kewenangan masing-masing yang telah diamanatkan oleh konstitusi, dalam kerangka inilah diperlukan ajaran check and balances system (sistem pengawasan dan keseimbangan) diantara lembaga lembaga Negara yang mengandaikan adanya kesetaraan dan saling mengawasi satu sama lain sehingga tidak ada lembaga yang lebih powerful dari lembaga Negara yang lainnya sehingga paham konstitusionalisme dengan prinsip check and balances system telah meneguhkan tekad bangsa Indonesia menyelesaikan segala sengketa dan konflik politik melalui jalur yuridis konstitusional.
2. Teori Negara Hukum
Secara embrionik bahwa pemikiran Negara hukum muncul sejak zaman Yunani Kuno yang dikemukakan oleh Plato, dengan konsepnya bahwa penyelenggaraan Negara yang baik adalah yang didasarkan pada pengaturan hukum yang baik yang disebut dengan istilah Nomoi[6] Gagasan Plato tentang Negara hukum ini semakin tegas ketika didukung oleh muridnya Aristoteles dengan karyanya Politica, menurut Aristoteles sauatu Negara yang baik adalah Negara yang diperintah dengan konstitusi dan kedaulatan hukum. Ada tiga unsur dari pemerintahan yang berkonstitusi, yaitu: Pertama, Pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan umum; Kedua, pemerintahan yang dilaksanakan menurut hukum yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara sewenang-wenang yang menyimpangkan konvensi dan konstitusi; Ketiga, pemerintahan berkonstitusi berarti pemerintahan yang dilaksanakan atas kehendak rakyat, bukan berupa paksaan tekanan yang dilaksanakan pemerintah despotik. Dalam kaitannya dengan konstitusi Aristoteles mengatakan bahwa konstitusi merupakan penyusunan jabatan dalam suatu Negara dan menentukan apa yang dimaksud dengan badan pemerintahan dan apa akhir dari setiap masyarakat, selain itu konstitusi merupakan aturan-aturan dan penguasa harus mengatur Negara menurut aturan aturan tersebut.[7]
Kemudian ide tentang Negara hukum atau rechstaat mulai poluler kembali pada abad ke-17 sebagai akibat dari situasi sosial politik di Eropa yang didominir oleh absolutisme, golongan yang pandai dan kaya (Menshen Von Besits und Bildung) ditindas oleh kaum bangsawan gereja yang menumbuhkan konsep etatisme (l�etat cets moi) menginginkan suatu perombakan stuktur sosial politik yang tidak menguntungkan itu, karena itu mereka mendambakan suatu Negara hukum yang liberal agar setiap orang dapat dengan aman dan bebas mencari penghidupan dan kehidupan masing-masing. Kekuasaan penguasa harus dibatasi dengan jalan adanya supremasi hukum, yaitu bahwa semua tindakan-tindakan penguasa Negara harus bersadarkan dan berakar pada hukum[8] (asas legalitas dan teori kedaulatan hukum oleh Hugo Krabbe), dan untuk itu juga harus ada pembagian kekuatan Negara[9] (teori pemisahan kekuasaan John Locke dan Teori Trias Politika Montesquieu), Negara hukum dibentuk bertujuan untuk menjamin dan melindungi hak-hak asasi rakyatnya dan membawa kesejahteraan umum, sedangkan menurut Leon Duguit dan Harold J. Laski, negara dipandangnya sebagai lembaga kesejahteraan umum (publik service institute) dan hukum bukanlah serangkaian perintah, tetapi cara-cara penyelenggaran kesejahteraan umum. Konsep Negara hukum yang ditujukan untuk membatasi kekuasaan penguasa yang absolut itu juga diperkuat oleh faham konstitusionalisme (Locke dan Montesquieu) dan faham kedaulatan rakyat serta demokrasi (JJ.Rousseau), yang kemudian melahirkan Negara konstitusional dan Negara demokrasi[10], Sehingga dalam perkembangannya antara asas Negara hukum, asas konstitusionalisme, dan asas kedaulatan rakyat saling berhubungan erat, bahkan pelaksanaannya ternyata tidak dapat dipisah-pisahkan.
Dalam konsep kenegaraan, hukum merupakan bagian terpenting dalam penyelenggaraan Negara, setidaknya ada dua tradisi besar gagasan Negara hukum didunia, yaitu Negara hukum tradisi Eropa Kontinental yang disebut Rechtstaat dan Negara hukum dalam tradisi Anglo Saxon yang disebut Rule of law, Rechtstaat lahir dari perjuangan menentang absolutisme sehingga bersifat revolusioner dan sebaliknya Rule of law berkembang secara evolusioner, Rechtstaat bertumpu pada sistem hukum Civil law yang berkarakteristik administratif sedangkan konsep Rule of law bertumpu pada sistem Common law yang berkarakteristik yudisial,[11] adapun ciri- ciri Rechtstaat adalah:
1. Adanya Undang- Undang Dasar atau konstitusi yang memuat ketentuan tertulis tentang hubungan antara penguasa dengan rakyat.
2. Adanya pembagian kekuasaan Negara
3. Diakuinya dan dilindungi hak- hak kebebasan rakyat[12].
A.V. Dicey mengetengahkan tiga arti dari Rule of law yaitu:
1. Supremacy of law artinya bahwa yang mempunyai kekuasaan tertinggi didalam suatu Negara adalah hukum (kedaulatan hukum)
2. Equality before the law, artinya persamaan dalam kedudukan hukum bagi setiap warga Negara, baik selaku pribadi maupun kualifikasinya sebagai pejabat Negara.
3. Constitution based on human right, artinya konstitusi bukan merupakan sumber dari hak asasi manusia dan jika hak asasi manusia itu diletakkkan dalam konstitusi itu hanya sebuah penegasan bahwa hal Hak Asasi Manusia itu harus dilindungi.[13]
Bandingkan dengan Fredick Julius Stahl yang mengemukakan empat unsur pokok Negara hukum:
1. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia oleh negara;
2. Negara didasarkan pada teori pemisahan dan pembagian kekuasaan dalam Negara untuk menjamin Hak Asasi Manusia;
3. Pemerintahan diselenggarakan bersadarkan peraturan perundang undangan (wetmatige bestuur);
4. Ada peradilan administrasi negara yang bertugas menanginai kasus perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah (onrechtmatige overheidsdaad). Munculnya unsur peradilan administrasi dalam perselisihan pada konsep rechstaat menunjukan adanya hubungan historis antara Negara hukum Eropa Konstinental dengan Romawi. Menurut Philipus M. Hadjon berpendapat sebagai berikut:
Konsep rechstaat bertumpu pada sistem hukum kontinental yang disebut �civil law� atau �modern roman law�sedangkan konsep �rule of law� bertumpu pada sistem �common law�, karakteristik civil law adalah administratif, sedangkan common law adalah judicial, perbedaan karakteritik demikian disebabkan karena latar belakang daripada kekuasaan raja. Pada zaman Romawi, kekuasaan yang menonjol dari raja ialah membuat peraturan melalui dekrit, kekuasaan itu kemudian didelegasikan kepada pejabat-pejabat administratif yang membuat pengarahan-pengarahan tertulis bagi hakim tentang bagaimana memutus suatu sengketa, begitu besarnya peranan administrasi, sehingga tidaklah mengherankan kalau dalam sistem continental lah mula pertama muncul cabang hukum yang baru yang disebut �droit administrative� dan inti dari droit administrative adalah hubungan antara adminstrasi dengan rakyat�.dikontingen dipikirkan langkah-langkah untuk membatasi kekuasaan administrasi Negara (hukum administrasi dan peradilan administrasi)[14]
Dari sejarah kelahiran, perkembangan maupun pelaksanaannya diberbagai Negara, konsep Negara hukum sangat dipengaruhi dan bahkan tidak dapat dipisahkan dari asas kedaulatan rakyat, asas demokrasi serta asas konstitusional, karena hukum yang hendak ditegakkan yaitu hukum yang bersumber dari aspirasi rakyat, untuk rakyat, dan dibuat oleh rakyat melalui wakilnya yang dipilih secara konstitusional.[15] Dengan demikian elemen penting dan merupakan syarat mutlak Negara hukum adalah:
1. Asas pengakuan dan perlindungan Hak Asasi Manusia.
2. Asas legalitas.
3. Asas pembagian kekuasaan Negara
4. Asas peradilan bebas dan tidak memihak
5. Asas kedaulatan rakyat
6. Asas demokrasi
7. Asas konstitusional[16]
Menurut Jimly Asshiddiqie, ide Negara hukum juga terkait dengan konsep Nomokrasi (nomocracy) yang berarti bahwa faktor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum[17].
Sri Soemantri mengatakan bahwa selain asas demokrasi[18] yang digunakan ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, digunakan juga asas Negara hukum yang diimplementasikan ke dalam sistem hukum nasional, unsur-unsur penting Negara hukum ada empat yaitu:
1. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasarkan atas hukum atau peraturan perundang-undangan;
2. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga Negara);
3. Adanya pembagian kekuasaan dalam Negara.
4. adanya pengawasan dari badan-badan pemerintahan[19].
Hans Kelsen mengemukakan teori Stufenbauw des recht the hierarchy of law theory[20] yang menyebutkan bahwa adanya jenjang tata hukum yang dibagi menjadi grundnorm dan norm, sedangkan Hans Nawiasky dengan Theorie vom Stufenaubau der Rechtsordnung[21] mengemukakan susunan norma: Pertama, Norma fundamental Negara (Staat fundamental norm); Kedua, Aturan dasar Negara (Staatgrundgesetz); Ketiga, Undang- undang Formal (Formell gesetz); Keempat, Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (Verordnungen autonome satzung)[22].
Menurut Hamid S Attamimi teori Hans Nawiasky jika dihubungkan dengan Negara hukum Indonesia, mempunyai stuktur heirarki tata hukum sebagai berikut:
1. Staat fundamental norm: Pancasila (Pembukaan UUD 1945)
2. Staatgrundgesetz: Batang tubuh UUD 1945, TAP MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan.
3. Formell gesetz: Undang- undang
4. Verordnungen autonome satzung: Secara heirarki mulai dari peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota.[23]
Konsekuensi dianutnya prinsip Negara hukum dan adanya stuktur heirarki tata hukum maka secara tata urutan peraturan perundang- undangan harus adanya Supremasi Konstitusi (Supremacy constitution) dimana setiap peraturan perundang-undangan yang berlaku harus berdasarkan dan bersumber dengan tegas pada peraturan yang lebih tinggi, Supremacy of constitution membawa implikasi bahwa segala praktek Ketatanegaraan yang dijalankan oleh Eksekutif, Legislatif maupun Yudikatif harus berdasarkan pada konstitusi. Menurut J.B.J.M Ten Berge menyebutkan prinsip-prinsip Negara hukum sebagai berikut:
1. Asas legalitas. Pembatasan kebebasan warga Negara oleh pemerintah harus ditemukan dasarnya dalam undang-undang yang merupakan peraturan umum, Undang-undang secara umum harus memberikan jaminan terhadap warga negara dari tindakan pemrintah yang sewenang-wenang, kolusi dan berbagai jenis tindakan yang tidak benar. Pelaksanaan wewenang oleh organ pemerintahan harus ditemukan dasarnya pada undang-undang tertuulis (undang-undang formal)
2. Perlindungan hak-hak asasi.
3. Pemerintah terikat pada hukum
4. Monopoli paksaan pemerintah untuk menjamin penegakkan hukum, hukum harus dapat ditegakkan ketika hukum itu dilangar. Pemerintah harus menjamin bahwa ditengah masyarakat terdapat instrumen yuridis penegakan hukum, pemerintah dapat memaksa seseorang yang melanggar hukum melaui sistem peradilan Negara, memaksakan hukum publik secara prinsip merupakan tugas pemerintah.
5. Pengawasan oleh hakim yan merdeka. Superioritas hukum tidak dapat ditampilkan jika aturan-aturan hukum yang dilaksanakan organ pemerintahan, oleh karena itu dalam setiap Negara hukum diperlukan pengawasan oleh hakim yang merdeka.[24]
Sejarah perkembangan hukum terdapat macam-macam hukum baik hukum publik maupun hukum privat, Hukum Tata Negara, Hukum Tata Usaha Negara, Hukum Pidana merupakan bagian dari hukum publik sedangkan hukum perdata, hukum dagang merupakan bagian dari hukum privat. Kesamaan umum macam hukum publik, yaitu: Tiap peraturan hukum publik itu selalu mengenai hubungan hukum yang timbul atau dapat timbul sebagai akibat dari turut campurnya atau kepedulian pemerintah dalam suatu bidang kehidupan dalam masyarakat, ciri-ciri yang melekat pada hukum publik, khususnya Tata Usaha Negara adalah:
1. Menggambarkan berlakunya asas-asas yang dianut dalam suatu Negara hukum, seperti asas wetmatigheid, diakui hak-hak dasar manusia, kekuasaan dalam Negara yang tidak dipustakan pada suatu kekuasaan melainkan terbagi-bagi menurut bidang-bidang yang diperlukan, dan akhirnya berlaku pengawasan pengadilan (hukum) terhadap urusan pemerintah.
2. Hukum Tata Usaha Negara itu mengandung ide-ide kehidupan demokrasi, dimana dalam hukum Tata Usaha Negara itu mengatur syrat-syarat prosedur pembentukan serta isi dari keputusan-keputusan pemerintah, antara lain:
a. Pembentukan Undang-Undang dilakukan oleh Pemerintah dengan Parlemen (DPR)
b. Hasil pemilu dapat merubah pemerintahan, kabinet kita setiap 5 tahun sekali dapat berubah susunannnya.
c. Keterbukaan dari jalannya urusan pemerintahan.
d. Diberikan kesempatan kepada mereka yang berkepentingan dengan suatu tindakan dengan pemerintah tertentu untuk memngemukakan pandangannya agar dipertimbangkan.
Butir a sudah d tersebut adalah mengenai prosedur pembentukan keputusan pemerintahan, sedangkan mengenai yang berkaitan dengan isi keputusan pemerintahan, ide kehidupan demokrasi yang mensyaratkan bahwa suatu keputusan pemerintahan itu seharusnya juga menghormati kepentingan golongan minoritas dan sejauh mungkin menghindarkan terjadinya ketidakbebasan dan ketidaksamaan perlakuan.
3. Dalam hukum Tata Usaha Negara itu yang berperan tidak hanya nilai-nilai yang berakar pada cita-cita kehidupan Negara hukum serta demokrasi saja, melainkan juga nilai-nilai yang merperkuat posisi warga masyarakat terhadap pemerintah. Hukum Tata Usaha Negara juga memiliki ciri yang khas karena ia juga berkedudukan sebagai suatu instrumen pelaksanaan urusan pemerintahan, artinya hukum Tata Usaha Negara itu juga memberikan sarana-sarana yuridis bagi pemerintah dalam pelaksanaan tugasnya melakukan suatu urusan pemerintahan. Pada perundang-undangan administrtif maupun dalam praktek pemerintahan sehari-hari, disitu selalu sangat diperhatikan bagaimana caranya serta dengan sarana-sarana apa saja suatu tujuan pemerintahan disuatu bidang kehidupan masyarakat itu dapat dicapai dengan sebaik-baiknya, jadi dalam hal ini segi efektifitas dan efesiensi (doelmatigheid) merupakan hal-hal yang sangat diperhatikan dalam hukum Tata Usaha Negara[25]
Dari apa yang digambarkan di atas dapat kita tarik beberapa titik-titik tolak yang berlaku untuk keseluruhan hukum Tata Usaha Negara sebagai berikut: baik perundang-undangan Tata Usaha Negara ditingkat pusat maupun tingkat daerah pada bidang-bidang hukum pemerintahan (Tata Usaha Negara) serta tindakan-tindakan pemerintahan selalu harus dikaji kepada ukuran-ukuran yang dapat dicakup dalam pengertian-pengertian Negara hukum, demokrasi serta kedudukan hukum Tata Usaha Negara sebagai instrumen pemerintahan, titik tolak mengenai hukum Tata Usaha Negara sebagai berikut:[26]
1. Negara Hukum:
a. Asas legalitas pemerintahan; wewenang pemerintahan harus nyata-nyata ada dasarnya dalam peraturan perundang-undangan, kesamaan dalam perlakuan, kepastian hukum.
b. Diakui hak-hak dasar manusia.
c. Kekuasaan dalam Negara itu tidak dipusatkan dalam satu tangan, melainkan ada pembagain kekuasaan: ada struktur kekuasaan yang mantap dalam Negara, berlakunya sistem pengawasan dan kontrol
d. Adanya peradilan yang bebas berwenang menilai dari segi hukum atas tindakan-tindakan pemerintahan.
2. Demokrasi
a. Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat yang mandiri
b. Dimungkinkan penggantian pemegang jabatan-jabatan pemerintahan
c. Pelaksanaan urusan pemerintahan yang bersifat terbuka,
d. Dalam pelaksanaan urusan pemerintahan dimungkinkan masyarakat ikut menyampaikan pendapatnya secara umum maupun dalam konkretonya.
e. Sedapat mungkin dihilangkan lain-lain kepentingan yang tidak perlu.
3. Hukum Tata Usaha Neara sebagai instrumen pemerintahan
a. Hukum Tata Usaha Negara itu harus berlaku se-efektif mungkin
b. Hukum Tata Usaha Negara itu harus berlaku se-efesien mungkin
3. Teori Kontrol Yudisial
Jaminan konstitusi yang lebih demokratis atas suatu Negara hukum Indonesia adalah buah dari reformasi hukum, namun karena hukum positif suatu Negara berpuncak pada konstitusi maka terlebih dahulu adanya amandemen konstitusi (amandement of constitution) diera transisi dari pemerintahan otoriter rezim Suharto menuju masa transisi paradigmatik,[27] Masa transisi bermuka dua, dimana satu sisi ketidakpastian dan banyak kemungkinan dan hasil dari proses transisi belum tentu Negara yang demokratis tetapi tidak jarang reinkarnasi Negara otoriter dalam wajah yang baru, disisi lain era transisi adalah suatu golden moment untuk melakukan reformasi konstitusi,[28]namun perlu disadari tentunya buah reformasi konstitusi yang bervisi adanya check and balances system lembaga Negara ini tentunya akan berpengaruh pada peran lembaga eksekutif untuk mewujudkan lembaga eksekutif yang bersih.
Sebagai negara yang menjunjung tinggi hukum (supremation of law) dalam menjalankan pemerintahannya, faktor terpenting dalam penyelenggaraan pemerintahan yang bersih tentunya adalah faktor yang berkaitan dengan kontrol yudisial, kontrol yudisial adalah salah satu faktor yang efektif untuk mencegah terjadinya mal administrasi maupun berbagai bentuk penyalahgunaan kewenangan pemerintah lainnya, selain menyelesaikan sengketa administrasi, kontrol yudisial inilah yang mendasari konsepsi eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara yang tujuannya merupakan pelembagaan kontrol yudisial terhadap tindakan pemerintah (government act). Bertitik tolak dari kebutuhan untuk mengawasi secara yuridis perbuatan pemerintah yang mal administrasi maupun yang tergolong abuse of power, dengan tujuan akhir bahwa perbuatan pemerintah sebagai amanat rakyat tetap selalu berjalan diranah hukum, perundang-undangan, keadilan dan kemanfaatan sehinga terwujudnya tujuan Negara untuk mensejahterakan rakyat.
Menurut P.Nicolai dkk, �De bertuurechtelijke handhavings middelen omvatten (1) het toezich dat bertuurorganen kunnen uitoenfenen op de naleving van de bij of krachtens de wewt gestelde voorschriten en van de bij besluit individueel opgeledge verplichtingen; en (2) de toepassing van bestuursrechtelijk cancie bevoedheden� (sarana penegakan hukum adminitrasi berisi: (1) pengawasan bahwa organ pemerintahan dapat melaksanakan ketaatan pada atau berdasarkan undang-undang yang ditetapkan secara tertulis dan pengawasan terhadap keputusan yang meletakkan kewajiban kepada individu; dan, (2) penerapan kewenangan sangsi pemerintahan).[29] Hans Kelsen berpendapat pengawasan hukum terhadap pemerintah oleh pengadilan tapi tidak perlu menjadi kewenangan pengadilan biasa, pengawasan hukum tata usaha ini harus diserahkan kepada kepada pengadilan khusus, fakta bahwa pengawasan administratif oleh pengadilan dianggap penting member keterangan yang jelas tentang kekurangan- kekuranangan dari teori pemisahan kekuasaan, prinsip pemisahan kekuasaan ini akan tampak menghendaki bahwa tidak satupun dari tiga kekuasaan itu harus diawasi masing-masing dari kedua kekuasaan lainnya. Prinsip pemisahan kekuasaan yang dituntut untuk membenarkan pengawasan yang sangat ketat atas pemerintah oleh pengadilan, suatu keadaaan yang dicapai dimana organ-organ administratif harus merujuk kepada pengadilan hukum-hukum administratif.[30]
Sementara Paulus Efendi Lotulung [31]mengemukakan beberapa macam pengawasan dalam hukum administrasi negara, yaitu bahwa ditinjau dari segi kedudukan dari badan/organ yang melaksanakan kontrol itu terhadap badan/organ yang dikontrol dapatlah dibedakan kontrol ektern dan intern. Kontrol intern berarti bahwa pengawasan itu dilakukan oleh badan yang secara organistoris/ struktual masih termasuk dalam lingkungan pemerintahan sendiri, sedangkan kontrol ekstern adalah pengawasan yang dilakukan oleh badan/ lembaga yang secara organisatoris/ struktural berada diluar pemerintah. Ditinjau dari segi waktu dilaksanakannya pengawasan atau kontrol dibedakan dalam dua jenis, yaitu kontrol a-priori dan kontrol a-posteriori. Kontrol a-priori terjadi bila pengawasan itu dilaksanakan sebelum dikeluarkannya keputusan atau ketetapan pemerintah sedangkan kontrol a-posteriori terjadi bila pengawasan itu baru dilaksanakan sesudah dikeluarkannya keputusan atau ketetapan pemerintah, selain itu kontrol dapat pula ditinjau dari segi objek yang diawasi, yang terdiri dari kontrol dari segi hukum (rechtmatigheid) dan kontrol dari segi kemanfaatan (doelmatigheid). Kontrol dari segi hukum dimaksudkan untuk menilai segi-segi atau pertimbangan yang bersifat hukum saja (segi legalitas) yaitu, segi rechtmatigheid dari perbutan pemerintah, sedangkan kontrol dari segi kemanfaatan dimaksudkan untuk menilai benar tidaknya perbuatan pemerintah itu dari segi atau pertimbangan kemanfaatan. Sesudah mengadakan pembagian pengawasan tersebut, lebih lanjut Paulus Efendi Lotulung mengatakan bahwa kontrol yang dilakukan oleh peradilan dalam hukum administrasi Negara mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:[32]
1. Ekstern, karena dilakukan oleh suatu badan/lembaga diluar pemerintahan
2. Aposteriori, karena selalu dilakukan sesudah terjadinya perbuatan yang dikontrol
3. Legalitas atau kontrol segi hukum karena hanya menilai dan segi hukum saja.
Kontrol Yudisial terhadap tindakan pemerintah merupakan penilaian tentang syah atau tidaknya suatu perbuatan pemerintah yang menimbulkan akibat hukum yang dilakukan oleh lembaga peradilan, jika dikaitkan dengan kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara maka yang dinilai secara yuridis adalah keputusan Tata Usaha Negara, dalam lembaga peradilan yang berwenang melakukan pemeriksaaan, sampai memberikan putusan adalah hakim peradilan. Hakim Peradilan Tata Usaha Negara hanya berwenang menilai dari segi hukumnya dari kepentingan-kepentingan yang saling berbenturan, dengan kata lain Hakim Peradilan Tata Usaha Negara mengadkan kontrol/ pengawsan terbatas terhadap perbuatan pemerintah mengenai aspek-aspek hukumnya, artinya mengadakan pengawasan apakah pada penentuan tentang kepentingan umum oleh pemerintah itu tidak mengurangi hak-hak individu yang adil secara tidak seimbang. Dapat disimpulkan bahwa hakim hanya memberikan penilaian/pengawasan apakah tindakan administrasi Negara dalam menyelenggarakan pemerintahan itu termasuk sebagai perbuatan yang disebut onrechtmatige overheidsdaad[33]
4. Mal administrasi dan Abuse of Power
Pemerintah sebagai lembaga eksekutif Negara tentunya akan mencampuri kehidupan warga negaranya, terdapat alasan mengapa pemerintah mencampuri urusan tersebut adalah:
1. Untuk mencegah salah memakai atau jangan sampai orang yang melayani keperluan tersebut mengambil untung yan melampaui batas, dalam hal ini pemerintah dapat mengadakan pengawasan.
2. Untuk suatu usaha yan dipandang amat berguna bagi kepentingan umum, dapat diberi subsidi supaya perkembangannya dapat didorong maju.
3. Untuk perusahaan-perusahaan yang mungkin menimbulkan bahaya bagi masyarakat sekitar, pemerintah dalam hal ini akan mengambil tindakan-tinadkan guna pencegahan bahaya-bahaya itu.
Sabda Lord Acton disebut sebagai hukum batu �power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely� akan menjadi tantangan bagi pemerintah dalam melaksanakan kewajibannya. Menurut Muchsan[34] perbuatan penguasa yang sewenang-wenang dapat terjadi apabila terpenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
a. Penguasa yang berbuat secara yuridis memiliki kewenangan untuk berbuat (ada peraturan dasarnya);
b. Dalam mempertimbangkan kepentingan yang terkait dalam dalam keputusan yang dibuat oleh pemerintah, unsur kepentingan umum kurang diperhatikan;
c. Perbuatan penguasa tersebut menimbulkan kerugian kongkrit bagi pihak tertentu.
Dalam teori hukum tata administrasi negara bentuk perwujudan ini ada lima kelompok, yakni: perbuatan melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad), perbuatan melawan undang-undang (onwetmatige); perbuatan yang tidak tepat (onjuist); perbuatan yang tidak bermanfaat (ondoelmatig); perbuatan yang menyalahgunakan wewenang (detournement de pouviur).[35] Sikap tindak administrasi Negara dalam menjalankan fungsinya melaksanakan pelayanan publik haruslah tetap berdasarkan hukum positif dan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, juga harus berdasarkan prinsip-prinsip hukum umum. Sikap tindak administrasi Negara tersebut yang dimaksud terutama adalah sikap tindak administrasi Negara dalam mengeluarkan ketetapan (beschikking), Menurut Kuntjoro dalam membuat suatu ketetapan oleh administrasi Negara harus memenuhi syarat-syarat materiil dan Formal, sebagai berikut[36]:
1. Syarat Materiil
a. Alat pemerintahan yang membuat keputusan harus mempunyai kewenangan (berhak).
b. Dalam kehendak alat perlengkapan yang membuat keputusan tidak boleh ada kekurangan yuridis (geen juridische gebreken in de wilsvorning)
c. Keputusan harus diberi bentuk (vorm) yang ditetapkan dalam peraturan yang menjadi dasarnya dan pembuatannya harus juga memperhatikan prosedur membuat keputusan, bilamana prosedur itu disebutkan dengan tegas dalam peraturan itu (rechtmatig)
d. Isi dan tujuan keputusan itu harus sesuai dengan isi dan tujuan yang hendak dicapai
2. Syarat Formil
a. Syarat-syarat yang ditentukan berhubung denan persiapan dibuatnya keputusan dan berhubung dengan cara dibuatnya keputusan itu harus dipenuhi
b. Harus diberi bentuk yang telah ditentukan
c. Syarat-syarat, berhubung dengan pelaksanaan keputusan itu di penuhi
d. Jangka waktu harus ditentukan, antara timbulnya hal-hal yang menyebabkan dibuatnya dan diumumkannya keputusan itu dan tidak boleh dilupakan.
Sedangkan Amrah Muslimin menguraikankan syarat-syarat formal dan material tersebut sebagai berikut, Syarat Formil: prosedur/cara membuat ketetapan, bentuk ketetapan, pemberitahuan penetapan pada yang bersangkutan. Syarat Materialnya meliputi: Instansi yang membuat penetapan harus berwenang menurut jabatannya, penetapan harus dibuat tanpa adanya kekurangan-kekurangan, penetapan harus menuju sasaran[37], jadi sikap tindak administrasi Negara menurut hukum adalah memenuhi persyaratan-persyaratan di atas, khususnya dalam tindak sikap membuat ketetapan, sehingga dapat dikatakan mal administrasi jika dalam membuat ketetapan ada salah satu unsur yang kurang atau sengaja. Dalam rangka proses mengeluarkan ketetapan inilah dapat timbul kemungkinan termasuk perbuatan melawan hukum oleh administrasi Negara, akan tetapi bukanlah terdapat kemungkinan bahwa sikap tindak yang dilakukan oleh administrasi Negara sudah sesuai dengan hukum, namun hukum yang menjadi landasannya tersebut secara material tidak benar , walaupun dari segi yuridis formal semua persyaratan dan prosedur yang disyaratkan dalam pembentukan peraturan hukum tersebut dipenuhi. Sehubungan dengan itu Sjahran Basah menyebutkan bahwa sikap tindak administrasi Negara yang melanggar hukum yaitu pelaksanaan yang salah, padahal hukumnya benar dan berharga, sedangkan sikap tindak administrasi Negara yang menurut hukum, bukan pelaksanaanya yang salah melainkan hukum itu sendiri yang secara materiil tidak benar dan tidak berharga.
5. Perlindungan Hukum
Hukum diciptakan sebagai suatu sarana (instrument) untuk mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban subjek hukum agar masing-masing subjek hukum dapat menjalankan kewajibannya dengan baik dan mendapatkan haknya secara wajar, namun hukum juga berfungsi sebagai instrumen perlindungan bagi subjek hukum, jika dikaitkan dengan keberadaan suatu Negara, hukum dapat difugsikan sebagai pelindung warga Negara dari tindakan pemerintah yang tiranik dan absolut. Untuk melembagakan perlindungan hukum bagi warga Negara tersebutlah, maka diadakannya lembaga peradilan umum yang melaksanakan fungsinya untuk menegakkan hukum dan keadilan serta sebagai tempat untuk mencari keadilan dan gugatan ganti kerugian bagi oknum pemerintah yang melanggar hukum baik dalam dataran hukum publik maupun hukum privat (perdata), sehingga dapat disimpulkan bahwa kedudukan pemerintah atau administrasi negara dalah hal ini tidak berbeda dengan seseorang atau badan hukum perdata yang sejajar sehingga pemerintah dapat menjadi tergugat maupun penggugat, dalam konteks inilah kedudukan yang sama dihadapan hukum (equality before the law) yang menjadi salah satu unsur Negara hukum terimplementasikan.[38]
Menurut Philipus M. Hadjon[39] menyatakan bahwa perlindungan hukum bagi rakyat dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu: pertama, perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif. Perlindungan hukum preventif, rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang defenitif, artinya perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, sedangkan sebaliknya perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Perlindungan hukum yang preventif sangat besar artinya bagi tindakan pemerintah yang didasarkan kepada kebebasan bertindak, karena dengan adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk bersikap hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada dekresi. Dalam kajian Hukum Administrasi Negara, tujuan pembentukan peradilan administrasi Negara (Peradilan Tata Usaha Negara) adalah:[40]
1. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari hak- hak individu.
2. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan pada kepentingan bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat tersebut.
Berdasarkan Undang-Undang No.5 Tahun 1986 tentang peradilan tata usaha negara, perlindungan hukum akibat dikeluarkannya ketetapan (beschiking) dapat ditempuh melalui dua jalur, yaitu melalui banding administrasi atau upaya administrasi dan melalaui peradilan. Menurut Sjahran Basah perlindungan hukum yang diberikan merupakan qonditio sine qua non dalam menegakan hukum. Penegakan hukum merupakan qonditio sine qua non pula untuk merealisasikan fungsi hukum itu sendiri, fungsi hukum yang dimaksud adalah: (a) direktif, sebagai pengarah dalam membangun untuk membentuk masyarakat yang hendak dicapai dengan tujuan kehidupan bernegara; (b) integratif, sebagai pembina kesatuan bangsa; (c) stabilitatif, sebagai pemelihara dan menjaga keselarasan, keserasian, dan keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat; (d) perfektif, sebagai penyempurna baik terhadap sikap tindak administrasi negara maupun sikap tindak warga apabila terjadi pertentangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat; (e) korektif, sebagai pengoreksi atas sikap tindak baik administrasi negara maupun warga apabila terjadi pertentangan hak dan kewajiban untuk mendapatkan keadilan.[41]
UPAYA HUKUM
Bandinga. Pernyataan banding diajukan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sesudah majelis hakim membacakan putusannya atau setelah putusan diberitahukan kpd terdakwa yg tidak hadir dipersidangan.
b. Selama perkara banding belum diputus, permintaan banding dapat dicabut, dan apabila sudah dicabut tidak dapat diajukan kembali.
c. Pemohon banding mempunyai hak selama 7 (tujuh) hari untuk mempelajari berkas perkara.
d. Memori banding tidak wajib disampaikan. (vide, psl 233 s/d 243).
Kasasi
a. Permohonan kasasi tidak dapat diajukan terhadap putusan bebas.
b. Permohonan kasasi diajkan selambat-lambatnya 14 hari setelah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi diberitahukan kpd terdakwa.
c. Permohonan kasasi disampaikan kpd panitera pengadilan yang memutus perkaranya dlm tingkat pertama.
d. Panitera menulis permohonan dalam surat keterangan yang sering dikenal dengan sebutan akta kasasi.
e. Akta kasasi harus ditandatangani panitera dan pemohon.
f. Pemohon kasasi wajib mengajukan/ menyampaikan memori kasasi
g. Penyerahan memori kasasi diajukan selambat-lambatnya 14 hari sejak tanggal permohonan kasasi diajukan.
h. Tembusan memori kasasi yang diajukan pemohon disampaikan kepada pihak lain.
i. Pihak lain dapat mengajukan kontra memori kasasi.
Alasan kasasi
a. Kesalahan penerapan hukum
b. Atau pengadilan dalam mengadili dan memutus perkara tidak melaksanakan cara mengadili menurut ketentuan UU.
c. Atau peradilan telah melampaui batas wewenangnya, baik wewenang relatif maupun wewenang absolut (vide, psl 253)
Putusan dan jenis-jenis putusan:
a. Putusan bebas (vrijspraak), apabila pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan disidang pengadilan, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan (psl 191/1)
b. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van recht vervolging), apabila pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, akan tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana.
c. Putusan pemidanaan, apabila pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana (psl 193/1)
d. Putusan yang menyatakan dakwaan batal demi hukum yaitu apabila surat dakwaan tdk memenuhi unsur yang ditentukan dalam psl 143/2b. Pengadilan dapat menjatuhkan putusan yang menyatakan dakwaan batal demi hukum berdasarkan atas permintaan terdakwa atau PH dlm eksepsi maupun atas wewenang hakim krn jabatannya.
e. Putusan yang menyatakan dakwaan tdk dapat diterima yaitu apabila surat dakwaan mengandung cacat formal atau mengandung kekeliruan beracara. Bisa cacat mengenai orang yang didakwa, keliru, susunan atau bentuk surat dakwaan yang diajukan penuntut umum salah atau keliru.
a. Putusan bebas (vrijspraak), apabila pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan disidang pengadilan, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan (psl 191/1)
b. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van recht vervolging), apabila pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, akan tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana.
c. Putusan pemidanaan, apabila pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana (psl 193/1)
d. Putusan yang menyatakan dakwaan batal demi hukum yaitu apabila surat dakwaan tdk memenuhi unsur yang ditentukan dalam psl 143/2b. Pengadilan dapat menjatuhkan putusan yang menyatakan dakwaan batal demi hukum berdasarkan atas permintaan terdakwa atau PH dlm eksepsi maupun atas wewenang hakim krn jabatannya.
e. Putusan yang menyatakan dakwaan tdk dapat diterima yaitu apabila surat dakwaan mengandung cacat formal atau mengandung kekeliruan beracara. Bisa cacat mengenai orang yang didakwa, keliru, susunan atau bentuk surat dakwaan yang diajukan penuntut umum salah atau keliru.
PROSES BERACARA
Acara pemeriksaan singkat (sumir);a. Pembuktian dan penerapan hukumnya mudah dan sederhana
b. Ancaman maupun hukuman yang akan dijatuhkan tdk melampaui 3 thn.
Tata cara pemeriksaan acara singkat pada umumnya berpedoman pada acara biasa.
Acara pemeriksaan cepat
Tindak pidana ringan yaitu:
a. Tindak pidana yang ancaman pidananya paling lama 3 bulan penjara atau kurungan
b. Atau denda sebanyak-banyaknya RP. 7.500
c. Penghinaan ringan sebagaimana dimaksud dl psl 315 KUHP. (vide, psl 205/1)
Tata cara pemeriksaan tindak pidana ringan:
a. Pelimpahan perkara dilakukan penyidik
b. Pengajuan perkara tanpa surat dakwaan
c. Pemeriksaan perkara dengan hakim tunggal
d. Saksi tidak mengucapkan sumpah.
e. Berita acara sidang tidak dibuat
f. Putusan dalam acara tindak pidana ringan tidak dapat diajukan banding kecuali terhadap putusan yang merampas kemerdekaan terdakwa.
Pemeriksaan terdakwa:
a. Pemeriksaan identitas terdakwa
b. Ketua sidang memperingatkan terdakwa agar supaya memperhatikan segala sesuatu yang dilihat dan didengarnya disidang pengadilan.
c. Pemeriksaan terdakwa sesudah pemeriksaan saksi.
d. Larangan mengajukan pertanyaan yg menjerat terdakwa (psl 166)
e. Hakim dilarang menyatakan sikap keyakinan salah tidaknya terdakwa (psl 158)
f. JPU dan PH dapat mengajukan pertanyaan kpd terdakwa (psl 164/2)
g. Jika terdakwa tdk paham bahasa Indonesia, hakim ketua sidang menunjuk seorang penterjemah.
Pelaksanaan Putusan PTUN dan Otonomi Daerah Sebagai Wujud Supremasi Hukuma. Pemeriksaan identitas terdakwa
b. Ketua sidang memperingatkan terdakwa agar supaya memperhatikan segala sesuatu yang dilihat dan didengarnya disidang pengadilan.
c. Pemeriksaan terdakwa sesudah pemeriksaan saksi.
d. Larangan mengajukan pertanyaan yg menjerat terdakwa (psl 166)
e. Hakim dilarang menyatakan sikap keyakinan salah tidaknya terdakwa (psl 158)
f. JPU dan PH dapat mengajukan pertanyaan kpd terdakwa (psl 164/2)
g. Jika terdakwa tdk paham bahasa Indonesia, hakim ketua sidang menunjuk seorang penterjemah.
Selama empat belas tahun eksistensi PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) di Indonesia, dirasakan masih belum memenuhi harapan masyarakat pencari keadilan. Banyaknya putusan PTUN yang tidak dapat dieksekusi telah menimbulkan pesimisme dan apatisme dalam masyarakat. Masalahnya adalah tidak adanya kekuatan eksekutorial dalam UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN. Kondisi ini merupakan suatu fakta yang memprihatinkan bahwa keberadaan PTUN belum dapat membawa keadilan bagi masyarakat dalam lingkup administratif pemerintahan. Prinsip adanya peradilan TUN, untuk menempatkan kontrol yudisial dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik menjadi bias dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Bila suatu putusan PTUN tidak memiliki kekuatan eksekutorial, bagaimana mungkin hukum dan masyarakat dapat mengawasi jalannya pemerintah yang dilaksanakan oleh pejabat-pejabat TUN.
Permasalahan eksekusi putusan PTUN ini juga dapat timbul terkait dengan diberlakukannya otonomi daerah, karena dengan adanya otonomi daerah seluruh pejabat kepala daerah di tingkat II memiliki kewenangan yang luas dalam mengelola daerahnya dan hal tersebut pasti menggunakan metode keputusan-keputusan administratif.
Sebagai negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) tentunya tindakan dari pemerintah tersebut harus berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Dibutuhkan suatu pengujian yuridis terhadap tindakan pemerintah dan pengujian yang dilakukan terhadap tindakan pemerintah itu harus dapat menghasilkan perlindungan bagi kepentingan rakyat. Apabila tindakan tersebut bertentangan dengan kepentingan rakyat, maka kepentingan rakyat tidak semena-mena dapat dikorbankan begitu saja. Demikian juga semangat prinsip dari PTUN tersebut harus diterapkan dalam pelaksanaan otonomi daerah. Dengan kewenangan yang besar dan luas menimbulkan potensi penyelewenangan seperti �abuse of power� dan �excessive power� sehingga dibutuhkan pengawasan yang serius dalam hal ini.
Salah satu yang menyebabkan lemahnya pelaksanaan putusan PTUN adalah karena tidak terdapatnya lembaga eksekutorial dan kekuatan memaksa dalam pelaksanaan putusan PTUN sehingga pelaksanaan putusan PTUN tergantung dari kesadaran dan inisiatif dari pejabat TUN. Dengan penegoran sistem hirarki seperti diatur dalam UU No. 5 tahun 1996 terbukti tidak efektif dalam pelaksaan putusan PTUN.
Baru-baru ini pemerintah telah sadar akan tumpulnya pelaksanaan putusan PTUN yang hanya menyandarkan pada kesadaran yang dirasa kurang efektif sehingga pemerintah mengundangkan UU No. 9 tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Adapun perubahan yang mendasar dalam UU No. 9 tahun 2004 terletak pada Pasal 116 ayat (4) dan ayat (5) yaitu adanya penjatuhan uang paksa bagi pejabat TUN yang tidak melaksanakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap berupa pembayaran uang paksa (dwangsom) dan/atau sanksi administratif serta publikasi di media cetak. Pemberlakuan uang paksa merupakan salah satu tekanan agar orang atau pihak yang dihukum mematuhi dan melaksanakam hukuman. Namun, dalam penerapannya pemberlakuan uang paksa (dwangsom) masih menimbulkan permasalahan antara lain jenis putusan apa yang dapat dikenakan uang paksa (dwangsom), siapa yang akan dibebankan uang paksa (dwangsom), dan sejak kapan uang paksa (dwangsom) diberlakukan.
Bahwa penerapan dwangsom tidak dapat dapat diterapkan pada semua putusan PTUN. Penerapan dwangsom hanya dapat dibebankan pada putusan PTUN yang bersifat penghukuman (putusan condemnatoir). Pejabat TUN yang sedang menjalankan tugasnya dalam kedinasan dan kemudian menimbulkan suatu kerugian bagi masyarakat, namun tugas tersebut dilaksanakan sesuai dengan hukum maka kerugian yang dialami masyarakat haruslah dibebankan kepada negara. Karena merupakan kesalahan teknis dalam menjalankan dinas.
Lain halnya jika pada saat pejabat TUN tidak patuh untuk melaksanakan putusan PTUN maka pada saat tersebut pejabat TUN tidak sedang melaksanakan peran negara. Apabila terjadi hal demikian maka pertanggung jawabannya dibebankan secara pribadi kepada pejabat TUN yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan teori kesalahan yang dikembangkan dari Yurisprudensi Counsil d�Etat yang membedakan kesalahan dinas (Faute de serve) dan kesalahan pribadi (Faute de personelle).
Dalam pelaksanaan penerapan uang paksa. mekanisme pembayaran uang paksa juga perlu diperhatikan, karena yang dihukum untuk melaksanakan putusan PTUN adalah pejabat TUN yang masih aktif yang masih mendapatkan gaji secara rutin. Maka akan lebih efektif jika pengenaan dwangsom diambil dari gaji bulanan pejabat TUN yang bersangkutan. Dan perintah pemotongan gaji dalam amar putusan hakim diperintahkan kepada Kepala Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN). Namun untuk melaksanakan pembayaran uang paksa yang dikenakan kepada pejabat TUN yang bersangkutan masih menimbulkan kendala. Kendala yang pertama adalah apabila dalam pelaksanaan eksekusi ternyata pejabat TUN yang bersangkutan dipindah tugaskan ke tempat wilayah kerja KPKN yang berbeda. Upaya yang dapat dilakukan untuk menghadapi kendala pertama adalah dengan adanya koordinasi antara PTUN yang satu dengan PTUN yang lain, dan antara PTUN dengan Pengadilan Negeri jika ternyata pejabat TUN bersangkutan pindah ditempat yang tidak ada PTUN. Kendala selanjutnya adalah apabila gaji pejabat yang bersangkutan tidak mencukupi untuk membayar uang paksa. Adapun upaya yang dapat dilakukan untuk menghadapi hal ini adalah dengan cara pejabat bersangkutan dapat mengangsur setiap bulan dengan mempertimbangkan sisa gaji yang layak untuk biaya hidup.
Lalu satu lagi sanksi yang dapat dikenakan pada pejabat TUN yang membandel adalah sanksi administratif. Sanksi administratif yang dapat diberikan berdasarkan PP No. 30 tahun 1980 tentang Disiplin Pegawai Negeri adalah hukuman disiplin berupa penurunan pangkat, pembebasan dari Jabatan, pemberhentian dengan hormat, dan pemberhentian tidak dengan hormat. Sanksi administratif berupa pembebasan dari jabatan adalah paling tepat karena pada saat ia tidak mematuhi putusan PTUN maka pada saat itu ia tidak mau menggunakan kewenangan jabatannya. Perintah penjatuhan sanksi administratif ditujukan kepada pejabat yang berwenang untuk menghukum pejabat TUN tersebut. Namun, dalam hal apabila pejabat TUN adalah gubernur dan bupati karena sesuai dengan UU Otonomi Daerah secara hirarki ia tidak mempunyai atasan sebagai pejabat yang berwenang untuk menghukum, maka dalam hal ini tentunya hakim dapat memilih pengenaan uang paksa (dwangsom).
Langkah yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk merevisi Pasal 116 UU No. 9 tahun 2004 merupakan salah satu kemajuan dari perkembangan kepastian hukum. Namun ketentuan Pasal 116 UU No. 9 tahun 2004 tersebut masih belum efektif dilaksanakan. Untuk melaksanakan Pasal 116 UU No. 9 tahun 2004 tersebut diperlukan adanya petunjuk pelaksanaan dan petujnjuk teknis. Diharapkan dengan adanya revisi tersebut pelaksanaan otonomi daerah dapat terkontrol dengan seimbang dan adil sehingga membawa kemakmuran bagi masyarakat.
Pada hakekatnya supremasi hukum hanya dapat tercapai kalau putusan pengadilan c.q. putusan PTUN dapat dieksekusi sehingga menimbulkan efek jera kepada para pejabat yang menyalahgunakan wewenang.
Permasalahan eksekusi putusan PTUN ini juga dapat timbul terkait dengan diberlakukannya otonomi daerah, karena dengan adanya otonomi daerah seluruh pejabat kepala daerah di tingkat II memiliki kewenangan yang luas dalam mengelola daerahnya dan hal tersebut pasti menggunakan metode keputusan-keputusan administratif.
Sebagai negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) tentunya tindakan dari pemerintah tersebut harus berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Dibutuhkan suatu pengujian yuridis terhadap tindakan pemerintah dan pengujian yang dilakukan terhadap tindakan pemerintah itu harus dapat menghasilkan perlindungan bagi kepentingan rakyat. Apabila tindakan tersebut bertentangan dengan kepentingan rakyat, maka kepentingan rakyat tidak semena-mena dapat dikorbankan begitu saja. Demikian juga semangat prinsip dari PTUN tersebut harus diterapkan dalam pelaksanaan otonomi daerah. Dengan kewenangan yang besar dan luas menimbulkan potensi penyelewenangan seperti �abuse of power� dan �excessive power� sehingga dibutuhkan pengawasan yang serius dalam hal ini.
Salah satu yang menyebabkan lemahnya pelaksanaan putusan PTUN adalah karena tidak terdapatnya lembaga eksekutorial dan kekuatan memaksa dalam pelaksanaan putusan PTUN sehingga pelaksanaan putusan PTUN tergantung dari kesadaran dan inisiatif dari pejabat TUN. Dengan penegoran sistem hirarki seperti diatur dalam UU No. 5 tahun 1996 terbukti tidak efektif dalam pelaksaan putusan PTUN.
Baru-baru ini pemerintah telah sadar akan tumpulnya pelaksanaan putusan PTUN yang hanya menyandarkan pada kesadaran yang dirasa kurang efektif sehingga pemerintah mengundangkan UU No. 9 tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Adapun perubahan yang mendasar dalam UU No. 9 tahun 2004 terletak pada Pasal 116 ayat (4) dan ayat (5) yaitu adanya penjatuhan uang paksa bagi pejabat TUN yang tidak melaksanakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap berupa pembayaran uang paksa (dwangsom) dan/atau sanksi administratif serta publikasi di media cetak. Pemberlakuan uang paksa merupakan salah satu tekanan agar orang atau pihak yang dihukum mematuhi dan melaksanakam hukuman. Namun, dalam penerapannya pemberlakuan uang paksa (dwangsom) masih menimbulkan permasalahan antara lain jenis putusan apa yang dapat dikenakan uang paksa (dwangsom), siapa yang akan dibebankan uang paksa (dwangsom), dan sejak kapan uang paksa (dwangsom) diberlakukan.
Bahwa penerapan dwangsom tidak dapat dapat diterapkan pada semua putusan PTUN. Penerapan dwangsom hanya dapat dibebankan pada putusan PTUN yang bersifat penghukuman (putusan condemnatoir). Pejabat TUN yang sedang menjalankan tugasnya dalam kedinasan dan kemudian menimbulkan suatu kerugian bagi masyarakat, namun tugas tersebut dilaksanakan sesuai dengan hukum maka kerugian yang dialami masyarakat haruslah dibebankan kepada negara. Karena merupakan kesalahan teknis dalam menjalankan dinas.
Lain halnya jika pada saat pejabat TUN tidak patuh untuk melaksanakan putusan PTUN maka pada saat tersebut pejabat TUN tidak sedang melaksanakan peran negara. Apabila terjadi hal demikian maka pertanggung jawabannya dibebankan secara pribadi kepada pejabat TUN yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan teori kesalahan yang dikembangkan dari Yurisprudensi Counsil d�Etat yang membedakan kesalahan dinas (Faute de serve) dan kesalahan pribadi (Faute de personelle).
Dalam pelaksanaan penerapan uang paksa. mekanisme pembayaran uang paksa juga perlu diperhatikan, karena yang dihukum untuk melaksanakan putusan PTUN adalah pejabat TUN yang masih aktif yang masih mendapatkan gaji secara rutin. Maka akan lebih efektif jika pengenaan dwangsom diambil dari gaji bulanan pejabat TUN yang bersangkutan. Dan perintah pemotongan gaji dalam amar putusan hakim diperintahkan kepada Kepala Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN). Namun untuk melaksanakan pembayaran uang paksa yang dikenakan kepada pejabat TUN yang bersangkutan masih menimbulkan kendala. Kendala yang pertama adalah apabila dalam pelaksanaan eksekusi ternyata pejabat TUN yang bersangkutan dipindah tugaskan ke tempat wilayah kerja KPKN yang berbeda. Upaya yang dapat dilakukan untuk menghadapi kendala pertama adalah dengan adanya koordinasi antara PTUN yang satu dengan PTUN yang lain, dan antara PTUN dengan Pengadilan Negeri jika ternyata pejabat TUN bersangkutan pindah ditempat yang tidak ada PTUN. Kendala selanjutnya adalah apabila gaji pejabat yang bersangkutan tidak mencukupi untuk membayar uang paksa. Adapun upaya yang dapat dilakukan untuk menghadapi hal ini adalah dengan cara pejabat bersangkutan dapat mengangsur setiap bulan dengan mempertimbangkan sisa gaji yang layak untuk biaya hidup.
Lalu satu lagi sanksi yang dapat dikenakan pada pejabat TUN yang membandel adalah sanksi administratif. Sanksi administratif yang dapat diberikan berdasarkan PP No. 30 tahun 1980 tentang Disiplin Pegawai Negeri adalah hukuman disiplin berupa penurunan pangkat, pembebasan dari Jabatan, pemberhentian dengan hormat, dan pemberhentian tidak dengan hormat. Sanksi administratif berupa pembebasan dari jabatan adalah paling tepat karena pada saat ia tidak mematuhi putusan PTUN maka pada saat itu ia tidak mau menggunakan kewenangan jabatannya. Perintah penjatuhan sanksi administratif ditujukan kepada pejabat yang berwenang untuk menghukum pejabat TUN tersebut. Namun, dalam hal apabila pejabat TUN adalah gubernur dan bupati karena sesuai dengan UU Otonomi Daerah secara hirarki ia tidak mempunyai atasan sebagai pejabat yang berwenang untuk menghukum, maka dalam hal ini tentunya hakim dapat memilih pengenaan uang paksa (dwangsom).
Langkah yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk merevisi Pasal 116 UU No. 9 tahun 2004 merupakan salah satu kemajuan dari perkembangan kepastian hukum. Namun ketentuan Pasal 116 UU No. 9 tahun 2004 tersebut masih belum efektif dilaksanakan. Untuk melaksanakan Pasal 116 UU No. 9 tahun 2004 tersebut diperlukan adanya petunjuk pelaksanaan dan petujnjuk teknis. Diharapkan dengan adanya revisi tersebut pelaksanaan otonomi daerah dapat terkontrol dengan seimbang dan adil sehingga membawa kemakmuran bagi masyarakat.
Pada hakekatnya supremasi hukum hanya dapat tercapai kalau putusan pengadilan c.q. putusan PTUN dapat dieksekusi sehingga menimbulkan efek jera kepada para pejabat yang menyalahgunakan wewenang.
Komentar :
Posting Komentar