Didalam sistem hukum yang dianut oleh Indonesia (civillaw), hukum perjanjian memiliki suatu asas-asas yang menjadi landasanpemikiran. Yang mana lebih lanjut dalam hukum Indonesia, perjanjian memilikibeberapa asas hukum, yaitu:
- Asas Konsensualisme
Dalam perjanjian, hal utama yang ditonjolkan ialah bahwapara pihak berpegang pada asas konsensualisme, yang merupakakan syarat mutlakdalam hukum perjanjian dan bagi terciptanya suatu kepastian hukum.
Asas konsensualisme mempunyai arti yang terpenting, yaitubahwa untuk melahirkan perjanjian adalah cukup dengan dicapainya suatusyarat-syarat yang telah ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan bahwaperjanjian tersebut telah dilahirkan pada saat telah tercapainya suatukesepakatan antara para pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut. Denganbegitu, suatu perjanjian telah sah ketika syarat-syarat yang ada dalam Pasal1320 KUHPerdata tersebut telah dipenuhi dan lahir ketika para pihak telahmengucapkan kata sepakat.
- Asas Itikad Baik
Dalam KUHPerdata pada Pasal 1338 ayat (3) menyatakanbahwa : “perjanjian itu harus dilakukan dengan itikad baik”. Dengan kata lain,setiap orang atau badan hukum (subyek hukum) yang ingin mengadakan perjanjianharus mempunyai itikat baik.
Itikad baik di sini merupakan suatu bentuk perlindunganuntuk memberikakan perlindungan hukum bagi salah satu pihak yang mempunyaiitikad baik dalam perjanjian baik dalam waktu pembuatan perjanjian maupun pada waktupelaksanaan perjanjian.
- Asas Kekuatan Mengikat (Pacta Sunt Servanda)
Adagium (ungkapan) Pacta Sunt Servanda diakuisebagai aturan bahwa persetujuan yang dibuat oleh manusia-manusia secara timbalbalik pada hakekatnya bermaksud untuk dipenuhi oleh para pihak dan jika perludapat dipaksakan yang secara hukum mengikat.
Asas Pacta sunt servanda dapat dijumpai dalam rumusanPasal 1338 ayat (1) KUHPerdata:
“semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undangbagi mereka yang membuatnya.”
Dalam rumusan pasal tersebut di atas,memberikan arti bahwa sesunguhnya setiap manusia atau sesama manusia melaluisebuah persetujuan dapat bertindak sebagai pembuat undang-undang. Persetujuanini dijadikan sumber hukum di samping undang-undang, oleh karena semuaperikatan lahir persetujuan atau undang-undang.
Dalam hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa sedikitbanyaknya setiap manusia menurut caranya sendiri dengan melalui kontrak dapatbertindak sebagai pembuat undang-undang yang diperuntukan secara khusus didalam suasana pribadi yang ada antaranya dan sesama manusia.
- Asas Kebebasan Berkontrak
Hal ini menjelaskan bahwa, setiap subyek hukum mempunyaikebebasan dalam mengadakan suatu bentuk perjanjian apa saja maupun perjanjianyang telah diatur dalam undang-undang. Perbuatan ini mengasumsikan bahwa adanyasuatu kebebasan tertentu di dalam masyarakat untuk dapat turut serta di dalamlalu lintas yuridis. Dengan kata lain, kebebasan berkontrak adalah begituesensial, baik bagi individu untuk mengembangkan diri di dalam kehidupan pribadidan didalam lalu-lintas kemasyarakatan serta untuk mengindahkankepentingan-kepentingan harta kekayaannya, maupun bagi masyarakatnya sebagaisuatu kesatuan, sehingga hal-hal tersebut oleh beberapa peneliti dianggapsebagai suatu hak dasar.[1]
Menurut sistem hukum yang dianut oleh Indonesia (CivilLaw), Kebebasan berkontrak dapat kita lihat dalam rumusan Pasal-Pasal 1329,1332 dan 1338 ayat (1) dalam KUHPerdata yang menyebutkan bahwa:
Pasal 1329 :
“Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika iaoleh undang-undang tidak dinyatakan tak cakap”
Pasal 1332:
“Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokoksutu perjanjian.”
Pasal 1338 ayat (1):
“Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undag-undang bagimereka yang membuatnya.”
Dengan ketentuan dari rumusunan tersebut di atas dapatkita simpulkan, bahwa ruang lingkup asaskebebasan berkontrak yang terdapat dalam hukum perjanjian adalah sebagaiberikut:
a. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian.
b. Kebebasan untuk memilih dengan siapa subyek hukumtersebut dalam mengadakan suatu perjanjian.
c. Kebebasan untuk menentukan atau kausa dari perjanjianyang akan dibuat.
d. Kebebasan untuk menentukan obyek dari perjanjian.
e. Kebebasan untuk menentukan bentuknya, baik itu tertulismaupun tidak tertulis (lisan).
f. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuanundang-undang yang bersifat opsional (aanvullend, optional).[2]
Akan tetapi dalam perkembangannya, asas kebebasanberkontrak yang diberikan kepada para pihak tidaklah secara mutlak atau bukanberarti tanpa adanya batasan-batasannya. Batasan-batasan ini tentunya selamaperjanjian yang akan dibuat tidak bertentagan dengan aturan perundang-undangan,kesusilaan dan ketertiban umum, serta pembatasan kebebasan berkontrak dari segicacat dalam kehendak yang terdiri dari empat bentuk, yaitu kekhilafan, paksaan,penipuan, dan penyalahgunaan keadaan.
[2] Sutan Remy Sjahdeini,Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak dalamPerjanjian Kredit Bank di Indonesia (Jakarta : Institut BankirIndonesia, 1993) Hal 147
Komentar :
Posting Komentar