Teori ini berpendapat bahwa suatu tindak pidana yang didakwakan kepadaseseorang terdakwa akan dianggap terbukti atau tidaknya sepenuhnya diserahkankepada kebijaksanaan, kesan dan hakim. Menurut teori ini suatu tindak pidanacukup dianggap terbukti dilakukan oleh terdakwa berdasarkan keyakinan hakimbelaka tanpa terikat oleh peraturan perundang-undangan.
Sekalipun alarian ini beralasan bahwa keyakinan hakim terbentuk berdasarkanpertimbangan-pertimbangan logis terhadap suatu keadaan yang dihadapinya,apabila tanpa adanya ikatan ketentuan tentang pembuktian yang baku, tetapihakim menjadi tidak berkewajiban mengemukakan alasan-alasan pembuktian yangmembentuk keyakinannya. Masalah akan timbuk apabila sesuatu tuntutan cukupdianggap terbukti dengan keyakinan hakim saja, maka hakim menjadi bebasmenggunakan alat bukti yang dikehendakinya termasuk menggunakanketerangan-keterangan yang bersumber dari orang-orang yang tidak kompeten,putusan dukun, mimpi dsb. Oleh sebab itu akan banyak terjadi putusan yang ditaktepat.
Teori ini dilatar belakangi oleh adanya alat-alat bukti termasuk pengakuanterdakwa sendiri yang tidak mengadung kebenaran. Bahwa pengakuan kadang-kadangtidak menjamin bahwa terdakwa benar-benar melakukan tindak pidana yangdidakwakan kepadanya, misalnya terjadi karena kekhilafan atau tekanan daripihak tertentu, oleh sebab itu diperlukan keyakinan hakim.
Teori pembuktian demikian dipergunakan di negara-negara yang menggunakanperadilan sistem juri. Dalam sistem ini seorang juri diangkat dari orang-orangyang bukan ahli hukum dan sama sekali tidak mengetahui tentang kasus posisiperkara yang diahadapinya. Msereka beranggapan bahwa orang yang bukan ahlihukum dan tidak mengetahui kasus posisi akan memberikan penilaian yangobjektif.
Teori pembuktian ini pernah dipergunakan di Indonesian pada pengadilan distrikdan pengadilan kabupaten, karena pada waktu pemerintah belanda tidak menerapkanundang-undang mengenai acara pidana.
Kelemahan teori ini adalah :
Memberikan kebebasan kepada hakim yang terlalu luas yang memungkinkan hakimmemberikan putusan tanpa alasan, pertimbangan berdasarkan alasan yang tidaklogis dan tidak legal, sehingga sulit diawasi. Badan-badan pengawas tidakmungkin mengetahui pertimbangan-pertimbangan hakim yang menjadi dasar suatuputusan perkara.Teori ini menyulitkan Mahkamah Agung dalam memeriksan perkarakasasi yang hanya memeriksa perkara dari segi penerapan hukumnya saja, karenamasalah pembuktian diserahkan kepada Judeks Factie, oleh sebab itu sekalipunsuatu putusan hakim tidak memuaskan atau bahkan menyakitkan, tidak dapatdianggap atau dinyatakan bertentangan dengan hukum.
Karena sobjektifitas hakim yang besar maka akan menyulitkan terdakwa dan kuasahukum untuk melakukan pembelaan.
2.Pembuktian Berdasar Undang-Undang secara Positif (PositiefWettelijke Bewijs theorie)
Teori ini berpendapat bahwa pembuktian sepenuhnya hanya berdasarkansyarat-syarat yang ditentukan oleh perundang-undangan, maka teori ini lazimdisebut teori pembuktian formal. Undang-undang telah menetapkan alat-alat buktiyang dapat dipergunakan, menetapkan ketentuan mengenai cara pembuktian dankekuatan pembuktian sedimikian rupa. Apabila seorang hakim mengadili seorangterdakwa telah menggunakan alat-alat bukti dan cara pembuktian yang ditentukanoleh undang-undang hakim berkewajiban menyatakan suatu dakwaan terbukti atautidak terbukti. Hakim tidak berwenang memberikan penilaian berdasarkan kesandan keyakinannya. Apabila dalam suatu dakwaan hakim telah melakukan pemeriksaanberdasar undang-undang dan menurut ketentuan undang-undang hasil pemeriksaantersebut hakim harus menyatakan bahwa dakwaan adalah terbukti secara sah, makahakim harus menyatakan dakwaan tersebut terbukti, sekalipunhakim berkeyakinanadalah tidak benar, maka keyakinan hakim tersebut harus disingkirkan.
Apabila proses pemeriksaan tidak dapat memenuhi alat bukti dan cara yangditentukan oleh undang-undang, maka hakim harus menetapkan keadaan tidakterbukti, sekalipun hakim berkeyakinan bahwa keadaan tersebut benar-benarterjadi, hal demikian pun menyebabkan keyakinan hakim harus disingkirkan.
Dengan tidak memberi wewenang kepada hakim untuk minilai pembuktian berdasarkankeyakinannya sesungguhnya bertentangan dengan prinsip hukum acara pidana, bahwaputusan harus berdasarkan kebenaran. Hakim untuk mendapatkan kebenaran adalahdengan cara bertanya kepada keyakinannya tentang kebenaran itu, selanjutnyaperlu disadari bahwa keyakinan seorang hakim yang jujur dan berpengalaman lebihmemungkinkan sesuai dengan keyakinan masyarakat, jika masyarakat itu yangmemeriksa dan mengadili perkara itu sebagai seorang hakim.
Komentar :
Posting Komentar