Antarakonsumen pemanfaat jasa multimedia dengan penyelenggaraan jasa multimedia yangdilakukan pelaku usaha terdapat hubungan hukum didasarkan pada hukumperlindungan konsumen, karena penyelenggaraan jasa multimedia yang dilakukantermasuk kategori yang melakukan kegiatan usaha sebagaimana perumusan pelakuusaha menurut pasal 1 angka 3 UUPK dan pemanfaat jasa multimedia termasukkategori konsumen menurut permumusan pasal 1 angka 2 UUPK.
Perlindungankonsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberiperlindungan kepada konsumen.[1]Perlindungan terhadap konsumen pemanfaat jasa multimedia menurut UUPK adalahsama dengan perlindungan terhadap konsumen lainnya.
Hak dari konsumen pemanfaat jasa multimedia, adalahsebagai berikut[2]:
Ø hak ataskenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsurnsi barang dan/atau jasa;
Ø hak untukmemilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebutsesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
Ø hak atasinformasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barangdan/atau jasa;
Ø hak untukdidengar pendapat dan keluhannya atas barang dan / atau jasa yang digunakan;
Ø hak untukmendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketaperlindungan konsumen secara patut;
Ø hak untukmendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
Ø hak untukdiperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
Ø hak untukmendapatkan komnpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barangdan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidaksebagaimana mestinya;
Ø hak-hak yangdiatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Kewajibanpenyelenggaraan jasa multimedia yang dilakukan pelaku usaha sebagai berikut [3]:
Ø beritikad baikdalam melakukan kegiatan usahanya;
Ø memberikaninformasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barangdan/atau jasa serta memberi penjelasan pcnggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
Ø memperlakukanatau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
Ø menjamin mutubarang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkanketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
Ø memberikesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasatertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuatdan/atau yang diperdagangkan;
Ø memberikompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
Ø memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantianapabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuaidengan perjanjian.
Pelakuusaha dilarang memperdagangkan jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuaidengan standar yang di persyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan[4].Hal ini berarti, penyelenggaraan jasa multimedia harus memenuhi standar yangditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Penyelenggara jasa multimediawajib memenuhi kualitas standar pelayanan yang ditetapkan oleh DirekturJenderal Departemen Pos dan Telekomunikasi[5].
Mengenaimasalah standar dan standarisasi, UUPK tidak mencantumkan definisi kedua haltersebut. Yang dimaksud dengan standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatuyang dibakukan, disusun berdasarkan consensus semua pihak yang terkait denganmemperhatikan syarat-syarat kesehatan, keselamatan, perkembangan ilmupengetahuan dan teknologi, serta pengalaman, perkembangan masa kini dan masayang akan dating untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya. Sedangkanpengertian standarisasi adalah proses merumuskan, merevisi, menetapkan danmenerapkan standar, dilaksanakan secara tertib dan kerjasama dengan semua pihak[6].
Penyelenggaraanjasa multimedia juga dilarang memperdagangkan jasa yang tidak sesuai denganjanji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosipenjualan jasa tersebut.[7]Contoh yang pernah dirasakan konsumen pemanfaat jasa multimedia yang dilakukanPT Firstwap adalah pelaku usaha selalu menggunakan ketentuan layanan yangberbentuk klausula baku untuk menjawab semua keluhan konsumen.
Denganmelihat kenyataan bahwa kedudukan konsumen pada prakteknya jauh di bawah pelakuusaha, maka UUPK merasakan perlu pengaturan mengenai ketentuan perjanjian bakudan/atau pencantuman klausula baku dalam setiap dokumen atau perjanjian yangdibuat oleh pelaku usaha. UUPK merumuskan klausula baku sebagai :
“setiap aturan atau ketentuan dansyarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secarasepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atauperjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.”[8]
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/ataujasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkanklausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila[9] :
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelakuusaha;
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolakpenyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolakpenyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibelioleh konsumen;
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumenkepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukansegala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumensecara angsuran;
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnyakegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. Memberi hak kepada pelaku usaha untukmengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadiobyek jual beli jasa;
g. Menyatakan tunduknya konsumen kepadaperaturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahanlanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkanjasa yang dibelinya;
h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasakepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hakjaminan terhadap barang yang dibeli konsumen secara angsuran.
Selanjutnya pelaku usaha dilarangmencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidakdapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti[10].Sebagai konsekuensi atas pelanggaran menyatakan batal demi hukum setiapklausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atauperjanjian yang memuat ketentuan yang dilarang dalam pasal 18 ayat (1) maupunperjanjian baku atau klausula baku yang memiliki format sebagaimana dimaksudpada pasal 18 ayat (2).
Atas kebatalan demi hukum dari klausula bakusebagaimana disebutkan dalam pasal 18 ayat (3), pasal 18 aayt (4) UUPKselanjutnya mewajibkan para pelaku usaha untuk menyesuaikan klausula baku yangbertentangan dengan UUPK ini. Jadi apabila kasus mengenai klausula bakudimajukan ke sidang pengadilan, pada sidang pertama hakim harus menyatakanbahwa perjanjian atau klausula itu batal demi hukum.[11]
[1]Indonesia, Undang-UndangTentang Perlindungan Konsumen, UU No.8 Tahun 1999, LN No.42 tahun 1999, pasal 1 angka 1.
[2]Ibid.,pasal 4.
[4]Ibid., pasal 8 angka 1 huruf a.
[5]Departemen Perhubungan, op. cit., pasal 48.
[6]Indonesia, Peraturan Pemerintahtentang Standardisasi Nasional Indonesia, PP No.102 Tahun 2000, pasal 1angka 2.
[7]Indonesia,op. cit., pasal 8 angka 1 huruf f.
[8]Ibid., pasal 1 angka 10.
[9]Ibid., pasal 18 angka 1.
[10]Ibid., pasal 18 ayat 2.
[11]Dony Lanazura, “Ketentuan Hukum(Baru) yang Diatur dalam UU Perlindungan Konsumen dan Mekanisme PenyelesaianSengketa,” (Makalah disampaikan pada Program Pembekalan PPDN, diadakan YayasanPatra Cendekia, jakarta, 4 Nopember 2000), hal.3.
Komentar :
Posting Komentar