Meskipun telah diadakan perbaikan di sana-siniterhadap sistem kepenjaraan, namun tetap dirasakan sebagai sistem yang kurangampuh sebagai alat ata sarana usaha pengurangan kejahatan, bahkan dalamkenyataannya kejahatan baik secara kwalitas maupun kwantitas tetap meningkat.Hal ini disebabkan karena sistem kepenjaraan yang merupakan sistem perlakuanterhadap narapidana dan anak didik mengutamakan pelaksanaan hukuman dari padamembimbing dan membina narapidana dan anak didik.
Hal ini dapat dimaklumi karena di dalam sistemkepenjaraan mengandung prinsip bahwa para narapidana adalah merupakan obyeksemata-mata, di samping tujuan pemerintah pada waktu itu (Pemerintah Kolonial)pidana yang dijatuhkan terhadap orang-orang hukuman merupakan tindakan balasdendam dari Negara, sehingga di dalam pelaksanaan hukumannya di penjara masalahhak asasi sama sekali tidak diindahkan. Di samping itu politik kriminal yangditerapkan oleh negara memang menghendaki kejeraan dari pada pelanggar hukumnyamelalui penyiksaan-penyiksaan yang dilakukan oleh petugas penjara dengan maksduagar mereka menjadi jera.
Sistem kepenjaraan menghendaki agar paranarapidana menyadari bahwa perbuatan yang pernah dilakukan itu adalah salah danbertentangan dengan hukum yang berlaku serta dilarang oleh ajaran agama yangdianutnya. Dan apa bila mereka sudah mau menyadari akan perbuatannya yangdemikian itu maka mereka akan merasa tobat. Faktor kesadaran diri yangbetul-betul timbul dari dirinya sendiri tanpa adanya tekanan dari pihak laininilah yang menjadi tujuan utama bahwa seorang narapidana tidak lagi melakukandan mengulangi perbuatan jahatnya. Jadi secara konsepsional sistem kepenjaraanbertentangan dengan tujuan yang dianutnya, yakni disatu pihak bertujuan untukmembuat jera para narapidana dengan cara perlakuan yang tidak manusiawi,sedangkan dilain pihak tidak dapat memenuhi tujuannya dengan cara perlakuanseperti itu.
Namun dengan bentuk perlakukan yang diterapkandengan cara yang tidak manusiawi itulah yang justru menyebabkan para narapidanatidak merasa tobat, malah sebaliknya dalam diri mereka akan timbul niat balasdendam baik terhadap para petugas penjara maupun terhadap masyarakat yang telahmemberikan cap sebagai sampah masyarakat. Dan apabila nanti mereka betul-betultelah kembali ke dalam masyarakat maka niat balas dendam tadi tidak mestahiluntuk diwujudkan dengan perbuatan jahatnya.
Di samping hal tersebut di atas, kegagalan darisistem Kepenjaraan yang menganut prinsip-prinsip “penjeraan” masih ada lagifaktor lain yang ikut terlibat di dalamnya, yaitu:
1. Sistem kepenjaraanditerapkan tanpa disertai dengan proses-proses kepenjaraan (tidak adanyapertahapan perlakuan terhadap narapidana yang sudah benar-benar menunjukkanrasa tobatnya) walaupun pada saat itu sudah dikenal adanya lembaga pelepasanbersyarat, namun cara pemberiannya dilakukan dengan tidak konsisten.
2. Sistem perlakuanyang diterapkan sifatnya kurang mendidik para narapidana, tapi hanya untukmengisi waktu belaka.
3. Sikap appriori dabprojudice masyarakat terhadap narapidana lebih menambah kegagalan dari sistemKepenjaraan dengan memberikan cap bahwa penjara itu adalah “Sekolah TinggiKejahatan”.
4. Dalam penerapanSistem Kepenjaraan tidak memperhitungkan atau tidak mengikut sertakanpartisipasi masyarakat dalam sistem perlakuannya (terlalu bersifat individual).
5. Re-educatie danresosialisasi sebagai jiwa dari Sistem Kepenjaraan di dalam penerapannya justrusama sekali tidak mencerminkan jiwa dari Sistem Kepenjaraan itu sendiri.
Dengan demikian terlihatlah bahwa sistem kepenjaraanyang merupakan produk kolonial sudah tidak sesuai untuk diterapkan jikadihubungkan dengan situasi dan kondisi negara Indonesia dewasa ini yang sudahmerdeka dari penjajahan. Di samping itu sistem kepenjaraan dirasakan lebihmengutamakan pelaksanaan pencabutan kebebasan narapidana dan ketertiban dalamlembaga dari pada membina narapidana menjadi warga masyarakat yang baik.
Komentar :
Posting Komentar