Sejak lahirnya, manusia telah ditakdirkan untukselalu hidup bersama dengan orang lain. Setiap manusia hidup bermasyarakatdalam usaha mewujudkan kesatuan, hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan.Oleh karena itulah maka segala tingkah lakunya tidak terlepas dari masyarakat.
Dalam upaya untuk mempertahankan kelangsunganhidup dari masyarakat, maka anggota-anggotanya menciptakan norma-norma ataukaedah-kaedah yang hakekatnya merupakan petunjuk-petunjuk tentang bagaimanaharus bertindak dan berprilaku di dalam pergaulan hidup. Pelanggaran terhadapnorma oleh anggota masyarakat dapat menimbulkan ketegangan dan ketidak stabilandalam masyarakat itu sendiri, setidaknya merugikan masyarakat yangbersangkutan.
Untuk memaksa supaya norma-norma itu ditaatinya,dilakukanlah suatu pengendalian sosial (social control), sehingga kehidupanbermasyarakat dapat terbentuk dan berlangsung terus dengan baik. Dengan adanyapengendalian sosial itu, maka segala tingkah laku anggota masyarakat diusahakansesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
Dalam kaitannya dengan masalah pengendaliansosial Soerjono Soekanto menyatakan bahwa:
“Hukum di dalam arti yang luas juga merupakanalat pengendalian sosial yang biasanya dianggap paling ampuh, oleh karenalazimnya disertai dengan sanksi-sanksi tegas yang berwujud sebagai penderitaan,dan dianggap sebagai sarana formil”[1]
Salah satu perwujudan pengendalian sosial adalah pemberian sanksi berupapidana berdasarkan peraturan-peraturan yang berlaku dalam masyarakat. Dengandemikian pidana tidak dapat dihindarkan adanya dalam masyarakat, walaupun harusdiakui bahwa pemidanaan memang merupakan alat pertahanan terakhir. Diamerupakan akhir dan puncak keseluruhan sistem upaya-upaya yang dapatmenggerakkan manusia melakukan tingkah laku tertentu seperti yang di harapkanmasyarakat.
Penjatuhan pidana atau pemidanaan dari dahulu ada dan dipandang sebagaisuatu ganjalan terhadap penjahat, tapi cara dan tujuan pemidanaan telah berubahdari masa ke masa. Perubahan-perubahan pandangan tersebut umunya timbul karenapertimbangan-pertimbangan ekonomi, perkembangan pandangan tentang perlindunganhak-hak asasi manusia, begitu pula pandangan sekuler terhadap kehidupan manusiadan masyarakat.
Menurut Andi Hamzah:[2]
Dahulu kalabentuk-bentuk pemidanaan yang dijatuhkan oleh suatu masyarakat yang teraturterhadap seorang penjahat ialah menyingkirkan atau melumpuhkannya sehinggapenjahat tersebut tidak lagi mengganggu masyarakat bersangkutan pada masadepan. Cara menyingkirkan bermacam-macam : pidana mati, pembuangan,pengiriman ke seberang lautan dan kemudian pemenjaraan. Secara berangsur-angsurada kecendrungan cara pemidanaan tersebut diganti secara berturut-turut dariyang tersebut pertama sampai yang terakhir, tetapi tidak secara menyeluruh.
Meskipun sistem pemidanaan selalu berubah darimasa ke masa, namun belumlah ada bukti yang pasti tentang modal yang mana darisemua sistem pemidanaan tersebut yang lebih efektif dari pada yang lain.Dimana-mana sistem pemidanaan masih dijalankan dengan percobaan-percobaan dandengan dugaan yang belum ada data yang pasti tentang efektivitasnya.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka di bawah ini akan diuraikanpaham-paham mengenai masalah pemidanaan ini. Menurut Jimly Ashiddiqie ada tigapaham sebagai berikut:
1. PahamRetributif:[3]
Paham atau aliran pertama ini memandangpemidanaan itu sebagai pembalasan yang dilakukan terhadap penjahat, dank arenaitu pandangan retribusi ini dianggap melihat ke belakang (back word looking).Pandangan ini mengandaikan bahwa setiap orang bertanggung jawab atasperbuatannya sendiri. Karena itu sudah sepatutnya yang jahat dihukum ataskesalahan yang diperbuatnya.
Di dalam masyarakat yang belum berpandangan maju terdapat pendirian bahwaorang yang telah berbuat kejahatan dinyatakan sebagai musuh masyarakat. Olehkarenanya pidana yang paling efektif ialah dengan menyiksa fisiknya supayamenderita selama-lamanya, dengan demikian tidak mampu lagi berbuat kejahatan.Oleh karena itu dasar pidana didorong oleh pernyataan naluri nafsu dan emosimanusia, dengan alam pemikiran bahwa pelaku kejahatan itulah yang menghendakiadanya tindakan pembalasan.
2. PahamUtikiterian :[4]
Pandangan kedua ini justru berorientasi kemasa depan dengan menekankan aspek pencegahan (prevention). Artinya pandanganUtiliterian ini bersifat forward looking kepada situasi yang ingin dihasilkandengan dijatuhkannya hukuman. Dalam pandangan kedua ini, jika hukumandijatuhkan, maka yang bersangkutan akan menjadi jera (special deterrence) danbegitu juga orang lain tidak akan mencontohkan kesalahan yang serupa (generaldeterrence)
3. Paham BehavioralPrevention menyatakan :[5]
Dalam pandangan ketiga, pemidanaan itu dalamarti hal ini pemenjaraan secara sederhana dipandang sebagai usaha yangmenyebabkan terpidana tidak mengulangi melakukan kejahatan lebih jauh, disamping bahwa penyekapan di dalam penjara (LP) itu dilakukan dengan maksud memudahkanpembinaan dalam rangka merehabilitasi si terpidana sehingga dapat berubahmenjadi orang baik dan taat hokum.
Dari uraianketiga paham pemidanaan tersebut di atas, jika dihubungkan dengan situasimodern sekarang ini, maka pandangan retributive mengenai pemidanaan sudahbanyak ditinggalkan. Pidana penjara sebagai bentuk pemidanaan tidak lagidipandang sebagai pembalasan terhadap pelaku kejahatan, tetapi lebih dipandangdalam konteks pembinaan yang lebih mempersoalkan apa yang akan dilakukansetelah putusan hakim dijatuhkan.
sehubungandengan hal di atas, W.A. Bonger menyatakan bahwa pada waktu sekarang hukumanmengandung dua unsur, ialah :[6]
Sepertisejak dahulu, untuk memuaskan rasa dendam dan benci para anggauta suatukelompok. Tidak ada suatu teori pembalasan atau teori lainnya, biarpundigambarkan dengan muluk-muluk, dapat merubah kenyataan ini. Unsur ini, yangpada zaman dahulu sangat berkuasa, sudah sangat terdesak oleh yang kedua,melindungi masyarakat (’la defense sosiale’) merupakan unsur yang lain yangselalu ada, biarpun tidak diinsyafi dan mempunyai arti besar. Masyarakatmengambil tindakan terhadap anggauta-angautanya yang berbahaya dan yangterpenting, ialah mendidik mereka agar dapat berguna lagi bagi masyarakat.Salah satu senjatanya ialah hukuman yaitu penderitaan yang dikenakan dengan sengaja,perbedaan antara tindakan dan hukuman tidaklah begitu besar seperti apa yangdidengung-dengungkan oleh beberapa ahli hukum pidana. Penderitaan yangditambahkan pada tindakan, biasanya juga berat-seperti perampasan kemerdekaandan tidak banyak berbeda dengan hukuman.
Kemudian Andi Hamzah menyatakan bahwa :[7]
Tujuan pidana yang berkembangdari dahulu sampai kini telah menuju ke arah yang lebih rasional. Dahulu tujuanpenghukuman semata-mata untuk retribusi yakni untuk melepaskan pelanggaranhukum dari perbuatan jahatnya dan menciptakan balans antara yang hak dan yangbatil. Kini tujuan penghukuman lebih di arahkan pada usaha reformasi yakniuntuk memberikan koreksi atas perbuatan jahat terhukum, memberikan rehabilitasiatas kesalahannya, dan untuk resosialisasi kehidupan terhukukm yang telahdiisolirkan dari kehidupan masyarakatnya yang semula.
Dewasa ini sudah mulai diinsyafibahwa hukuman mempunyai arti yang besar bagi masyarakat untuk mengambiltindakan terhadap anggota-anggotanya yang melanggar hukum, dan hukumanlebih di arahkan untuk mendidik danmembina mereka agar berguna lagi bagi masyarakat. Di Indonesia Ide inidicetuskan oleh Saharjo yang dikenal dengan sistem pemasyarakatan yangmerupakan jawaban atas segi-segi negatif dari pidana penjara. Ide ini padahakekatnya bersumber dari filsafat pembinaan.
Ide Saharjo tersebut kemudiandijabarkan dalam koperensi Direktur Kepenjaraan Seluruh Indonesia pada tanggal27 April tahun 1964 di Lembang Bandung. Pada konperensi itulah dimulai tekaduntuk memperbaiki sistem pembinaan narapidana dan anak didik. Sistem lama yangberdasarkan Reglemant kepenjaraan warisan kolonial diganti dengan sistempemasyarakatan yang berlandaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Dalam sistem pemasyarakatannarapidana tiadak dipandang sebagai seorang penjahat, yang seolah-olah bukanmanusia lagi. Narapidana adalah manusia biasa seperti manusia-manusia lain,hanya karena melanggar hukum diputuskan oleh hakim untuk menjalani suatu sistemperlakuan. Narapidana selain individu juga anggota masyarakat, yang dalampembinaannya tidak boleh diasingkan dari kehidupan masyarakat, justru harus diintegrasikanke dalamnya.
Oleh karena itu selama pembinaannarapidana diusahakan adanya keselarasan, keserasian dan keseimbangan hiduplahiriah dan bathiniah. Hal ini sesuai denga pembangunan manusia Indonesiaseutuhnya seperti yang diuraikan di dalam Garis-garis Besar Haluan Negara Kita.Jadi pembinaan narapidana adalah pembangungan manusia Indonesia seutuhnya.Sehingga dalam sistem pemasyarakatan bertujuan agar bekas narapidana tidak akanmelanggar hukum lagi yang merupakan tujuan minimum, sedangkan tujuan lebih jauhagar narapidana sekembalinya ke masyarakatat menjadi anggota masyarakat yangbaik, sekaligus sebagai insan pembangunan yang aktif dan kreatif di dalampembangunan Bangsa dan Negara.
[1] . Soerjono Soekanto. 1985. Sosiologi Suatu Pengantar. Cet. V.Rajawali. Jakarta. hal. 201
[2] . Andi Hamzah. Op.cit. hal. 9
[3]. Jimly Ashiddiqie. 1987. Pendekatan Sistem Dalam Pemasyarakatan TerpidanaMenurut Tinjauan Ilmu Hukum. Majalah Hukum dan Pembangunan No.5. hal. 483
[4] . Ibib.
[5] Ibib.
[6] . W.A. Boger. 1977. Pengantar Tentang Kriminologi. Cet. Ke IV. GhaliaIndonesia. Jakarta. hal. 24-25
[7] . koesno Hadi. 1990. HubunganPenjatuhan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan. Majalah Forum Keadilan.No. 24. Hal. 97. Dikutip dari Andi Hamzah. 1985. Sitem Pidana dan Pemidanaan diIndonesia. Pradnya Paramita. Jakarta. hal. 15 dan 16.
Komentar :
Posting Komentar